• Beranda
  • Berita
  • Anggaran DKI, salah input, sistem "warisan" hingga mundurnya pejabat

Anggaran DKI, salah input, sistem "warisan" hingga mundurnya pejabat

3 November 2019 16:44 WIB
Anggaran DKI, salah input, sistem "warisan" hingga mundurnya pejabat
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Mahendra Satria Wirawan, saat mengumumkan pengunduran dirinya di Balai Kota Jakarta, Jumat (1/11/2019). ANTARA/Ricky Prayoga/am.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta tahun 2020 saat ini masih dalam pembahasan tingkat komisi DPRD DKI Jakarta dengan status dokumen Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS).

Kendati pembahasan APBD DKI Jakarta tahun 2020 terbilang masih tahap awal, sudah cukup banyak anggaran-anggaran yang dianggap janggal terkuak dan akhirnya mendapatkan perhatian luas oleh publik. Alasannya tidak lain karena pagu anggaran yang fantastis dalam kegiatan tersebut.

Berbagai alasanpun diutarakan oleh pihak pembuat anggaran kegiatan, yakni Pemprov DKI Jakarta, mulai dari belum detilnya kegiatan, kesalahan input, hingga lemahnya sistem penganggaran elektronik atau e-budgeting yang dijalankan saat ini menjadi penyebab janggalnya anggaran.

Namun, di tengah hebohnya pembahasan anggaran antara Pemprov DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta, publik kembali terkejut dengan kabar mundurnya dua pejabat struktural DKI Jakarta yakni Kadisparbud Edy Junaedi dan Kepala Bappeda Mahendra Satria Wirawan yang dianggap terlalu cepat dan terkait anggaran, mengingat saat ini pembahasannya sendiri sedang berlangsung.

Sebelum melihat lebih jauh, Antara mencoba merangkai kembali polemik yang terjadi dalam periode pembahasan anggaran Pemprov DKI Jakarta untuk tahun anggaran 2020 mendatang dari awal mencuat.

Polemik KUA-PPAS
Polemik yang terjadi dalam pembahasan anggaran DKI Jakarta tahun 2020 adalah masuknya sejumlah anggaran yang dianggap janggal dalam dokumen KUA-PPAS yang merupakan produk dari Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), hasil Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan hingga provinsi.

Dalam dokumen tersebut, ditemukan beberapa pos anggaran yang dianggap tidak memiliki prioritas dan tidak sesuai dengan kondisi APBD-P DKI 2019 yang hampir defisit dengan pajak yang hingga 28 Oktober 2019 baru tercapai Rp32,3 triliun atau 73 persen dari target Rp44,54 triliun.

Setidaknya berdasarkan pantauan Antara, ada delapan pos anggaran dalam KUA-PPAS 2020 yang mendapat perhatian luas publik, pertama anggaran pengadaan antivirus senilai Rp12,9 miliar pada pos yang diajukan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil; Kedua anggaran jalur sepeda senilai Rp73,7 miliar pada Dinas Perhubungan DKI Jakarta.

Ketiga, anggaran promosi wisata di media sosial dengan menggunakan jasa lima "influencer" senilai Rp5 miliar pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta; Keempat, anggaran lem Aibon senilai Rp82,8 miliar di Dinas Pendidikan DKI Jakarta (Sudin Pendidikan Wilayah I Jakarta Barat).

Kelima, anggaran bolpoin sebesar Rp123,9 miliar di Dinas Pendidikan DKI Jakarta (Sudin Pendidikan Wilayah I Jakarta Timur); Keenam, anggaran pengadaan 7.313 unit komputer Rp121 miliar pada Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk ujian berbasis komputer.

Ketujuh, anggaran untuk operasional 66 orang tim gubernur untuk percepatan pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta yang jumlahnya berubah-ubah dari Rp26,5 miliar menjadi Rp21 miliar dan sekarang Rp19,8 miliar. Kedelapan, anggaran untuk server dan storage senilai Rp66 miliar di Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik.

Serta ada juga temuan Anies sendiri dalam rapat pengarahan anggaran yang diunggah dalam sebuah video milik Pemprov DKI Jakarta pada tanggal 29 Oktober 2019.

Dalam video yang disebut oleh pihak Pemprov DKI Jakarta diambil saat rapat tanggal 23 Oktober itu, Anies membeberkan sebelas anggaran alat tulis kantor yang janggal yakni Bolpoin Rp635 miliar; Tinta printer Rp407,1 miliar (116 jenis komponen); Kertas (F4, A4, folio) Rp213,3 miliar (terbanyak F4 Rp 205 miliar); Buku folio Rp79,1 miliar; Pita printer Rp43,2 miliar; Balliner Rp39,7 miliar; Kalkulator Rp31,7 miliar; Penghapus cair Rp31,6 miliar; Rotring Rp5,9 miliar; Film image Rp5,2 miliar; Highlighter/stabillo Rp3,7 miliar.

Beberapa pos anggaran diakui menjadi janggal karena kesalahan input oleh perangkat pemerintah daerah. Akhirnya beberapa di antaranya dihapus dan direvisi untuk dialihkan pada kegiatan lain ataupun ditunda karena belum jelas, seperti: anggaran influencer (dialihkan untuk anggaran balap mobil Formula E); anggaran lem Aibon dan bolpoin (direvisi pada anggaran lain sesuai kebutuhan sekolah/masuk dalam dana BOP); anggaran jalur sepeda (ditunda untuk diperjelas); anggaran komputer (dicoret).

Walau demikian, polemik sudah kadung terjadi dan meluas, terlebih juga karena dokumen KUA-PPAS tidak lagi mudah diakses lewat laman apbd.jakarta.go.id karena tombol pintasan (shortcut) tiba-tiba hilang, beberapa jam setelah anggota Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta William Aditya Sarana mengungkapkan janggal anggaran lem Aibon lewat akun media sosialnya pada Selasa (29/10).

William menduga Pemprov DKI Jakarta sengaja menghapus "shortcut" karena dokumen KUA-PPAS keburu terekspos di publik.

Sehari setelahnya, pihak Pemprov DKI Jakarta melalui Kepala Bappeda yang saat itu masih dijabat Mahendra Satria Wirawan, langsung menggelar konferensi pers, yang berisi pernyataan bahwa "Pemprov tidak pernah mengunggah dokumen KUA-PPAS sebelum berkekuatan hukum atau disepakati dengan DPRD DKI Jakarta", sesuatu yang juga selalu ditekankan oleh Gubernur DKI Anies Baswedan.

"Kalau ada yang bisa menemukan alamatnya itu, saya juga tidak tahu, mungkin ada sistem yang bocor atau bug," ujar Mahendra di Balai Kota Jakarta, Rabu (30/10).

Sistem Warisan
Sementara itu, Anies menilai cukup banyaknya anggaran janggal dalam dokumen KUA-PPAS 2020, adalah diakibatkan sistem penganggaran elektronik atau e-budgeting yang dipakai sejak era gubernur Jakarta sebelumnya, Basuki Tjahja Purnama (Ahok).

Menurut Anies, sistem penganggaran "warisan" tersebut tidak "smart" karena tidak bisa mencegah atau bahkan walau hanya mendeteksi karena mengandalkan verifikasi manual, walau sistemnya digital.

"Kalau ini adalah smart system, dia bisa melakukan pengecekan, verifikasi, bisa menguji. Saat ini sistem digital, tapi masih mengandalkan manual untuk verifikasi. Kami perhatikan sistemnya harus diubah supaya begitu mengisi, hasil komponennya relevan," kata Anies, Kamis (31/10).

Anies mengaku pihaknya berupaya untuk memperbaiki sistem tersebut agar masalah tidak terulang kepada gubernur selanjutnya, sehingga proses penganggaran bisa berjalan dengan baik dan akuntabel tanpa menimbulkan polemik.

"PR ini, karena saya menerima warisan sistem dan saya tidak ingin meninggalkan sistem ini untuk gubernur berikutnya, tujuannya agar gubernur berikutnya tidak menemukan masalah yang sama dengan yang saya alami," tutur Anies.

Adapun Basuki Tjahja Purnama (Ahok) sebagai implementator sistem e-budgeting yang direncanakan oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pada 2013 lalu melalui Peraturan Gubernur Nomor 145 tahun 2013, menilai justru dengan sistem tersebut, keran transparansi anggaran dibuka lebar. Bahkan sistem tersebut bisa berjalan baik, namun bergantung pada niatan Sumber Daya Manusia (SDM)-nya itu sendiri.

"Yang pasti karena e-budgeting semua orang tahu pengeluaran APBD DKI, bisa dapatkan datanya, mulai dari pembelian pulpen, Aibon, hingga UPS (Uninterruptible Power Supply). Sistem itu berjalan baik jika yang input datanya tidak ada niat mark-up apalagi maling. Untuk mencegah korupsi, hanya ada satu kata, yaitu transparansi sistem yang ada," kata Ahok dalam pesan singkatnya pada wartawan di Jakarta, Kamis (31/10).

Namun, Anies menilai karena dalam sistem e-budgeting tersebut ditemukan kelemahan salah satunya tidak mendeteksi jika ada janggal anggaran. Anies akhirnya berniat memperbaharui sistem tersebut, agar lebih verifikatif dengan melakukan deteksi jika ada kemungkinan anggaran janggal dan lebih interaktif dengan masyarakat.

Tetapi, Anies menampik penilaian bahwa pembaharuan sistem tersebut karena ada polemik anggaran APBD DKI Jakarta. Disebutkannya pembaharuan sistem ini sudah direncanakan sejak lama dan akan diluncurkan pada akhir tahun 2019 untuk kemudian digunakan pada tahun 2020 mendatang.

"Sistemnya bukan saja faktor verifikasi, tapi termasuk faktor security data, partisipasi, faktor pengujian semua informasi. Intinya jika sifatnya repetitive, mekanistik, itu bisa dilakukan pengujiannya oleh sistem. Tapi yang sifatnya judgment itu harus dibangun artificial intelligence ataupun juga dengan menggunakan manusia," ucapnya, Jumat (1/11).

Dua Kadis DKI mundur
Di tengah pembahasan anggaran DKI dengan kejanggalannya yang mengejutkan, publik kembali dikagetkan dengan kabar mundurnya dua pejabat struktural Pemprov DKI Jakarta yakni Kadisparbud DKI Edy Junaedi (pada tanggal 31 Oktober 2019 malam) dan Kepala Bappeda DKI Mahendra Satria Wirawan (pada tanggal 1 November 2019).

"Bapak ibu sekalian, seperti kita semua ketahui situasi dan kondisi saat ini, yang membutuhkan kinerja Bappeda yang lebih baik lagi, saya mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri dengan harapan agar akselerasi Bappeda dapat lebih ditingkatkan," kata Mahendra saat mengumumkan pengunduran dirinya, Jumat (1/11).

Baca juga: Anies sebut kelemahan e-budgeting dikoreksi bukan diviralkan

Baca juga: Dinas Bina Marga DKI anggarkan dana terbesar untuk trotoar

Baca juga: PSI dinilai tak paham masalah terkait protes anggaran janggal

Baca juga: Soal sistem e-budgeting, Anies: Mau "upgrade" bukan diganti


Sementara Edy mengundurkan diri dari jabatan Eselon II nya dan akan menempati pos sebagai staf di Anjungan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Mahendra mundur dari jabatan Eselon II dan akan menempati pos lamanya sebagai Widyaiswara di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) DKI Jakarta.

Meski ada dugaan mundurnya dua pejabat struktural Pemprov DKI Jakarta tersebut terkait anggaran janggal di mana usulan dana lima influencer Rp5 miliar merupakan usulan Disparbud, sementara anggaran-anggaran janggal itu muncul dalam dokumen KUA-PPAS yang disatukan dari Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) di setiap satuan perangkat kerja daerah (SKPD) oleh Bappeda, hal itu ditampik Anies.

Anies menyebut, alasan dua pembantunya mundur adalah karena mengesampingkan kepentingan pribadi dan demi mempercepat kinerja lingkungan Pemprov DKI.

"Tidak, tidak demikian, ini adalah sikap kesatria beliau, saya sangat menghargai beliau yang mementingkan organisasi di atas kepentingan diri sendiri yang ditujukan untuk percepatan kinerja di lingkungan Pemprov DKI Jakarta," tutur Anies usai mendengar pengunduran diri Mahendra.

Meski dirinya mengetahui mendesaknya batas waktu pembahasan anggaran untuk disepakati dan diserahkan ke Kemendagri, selain menunjuk pelaksana tugas, Anies juga akan segera mencari pengganti dua pejabat tersebut melalui lelang jabatan yang dibuka bagi Aparatur Sipil Negara se-Indonesia.

Tidak ingin kembalinya terulang kesalahan dalam dokumen KUA-PPAS 2020, Anies juga akan memeriksa pegawai yang mengisi anggaran KUA-PPAS 2020 melalui tim ad hoc.

Anies menyebut tim ad hoc itu merujuk pada aturan Pemerintah nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Kemudian saya membuat Keputusan Gubernur nomor 128 tahun 2019, tentang pembentukan tim pemeriksa ad hoc atas dugaan pelanggaran disiplin pegawai negeri sipil.

"Mereka-mereka yang mengerjakannya dengan cara yang seenaknya, asal masuk data akan kami periksa lewat tim ad hoc untuk pemeriksaan pegawai. Lalu kalau ditemukan salah, akan mendapat sanksi sesuai dengan yang pelanggarannya," ucap Anies.

Bagi anggota Fraksi PSI DPRD DKI William Aditya Sarana, atas kejadian mundurnya dua pejabat struktural DKI Jakarta, seharusnya dijadikan momentum agar Anies juga merubah gaya kepemimpinannya.

"Gubernur harusnya pasang badan melindungi anak buah, itu yang kesatria menurut saya. Karena mereka (ASN) sudah terbiasa dikritisi, dikuliti. Ini harus jadi momentum, ketika ada gempa politik atau kebijakan, jangan menyalahkan sesuatu di luar dirinya seperti sistem, menyalahkan anak buah, menyalahkan gubernur sebelumnya. Kontrol kebijakan ada di gubernur, semua tanggung jawab ada di gubernur," ucap William.

Publik menantikan bagaimana langkah Pemprov dan DPRD DKI Jakarta untuk bisa menelurkan kesepakatan mengenai anggaran tahun 2020 dengan waktu tersisa dalam hitungan hari, hingga batas waktu 30 November 2019, dengan harapan bisa mengakomodir kegiatan prioritas yaitu banjir, macet dan perumahan.

Pasalnya, jika tidak tepat waktu dalam menyelesaikan pembahasan KUA-PPAS menjadi Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) untuk disampaikan pada Kemendagri, akan ada sanksi administratif berupa belanja yang tidak bisa dilakukan. Imbasnya bukan hanya program prioritas yang terhambat, tapi juga ribuan orang tenaga yang upahnya tergantung dari belanja Pemprov, terancam kehilangan sumber penghidupannya dalam enam bulan sejak awal 2020.

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019