Media, milenial, dan masa depan

6 November 2019 10:01 WIB
Media, milenial, dan masa depan
Korea Press Foundation (KPF) Chairman Byung Wook Min saat membuka KPF Journalism Conference 2019, di Seoul, Kamis 24 Oktober 2019. (ANTARA News/Monalisa)
Belum lama ini, surat kabar Malaysia yang berkiprah 80 tahun tutup akibat pailit. Koran Utusan Malaysia yang merupakan koran tertua berbahasa Melayu itu telah bertahun-tahun mengalami masa kritis, sampai akhirnya mengibarkan bendera putih.

Semua staf diberhentikan per 31 Oktober 2019, demikian memo Kepala Eksekutif Utusan Malaysia Abdul Aziz Sheikh Fadzir dilansir Reuters.

Sekitar 800 karyawan harus di-PHK. Tak sedikit dari mereka yang menangis seraya membawa barang-barang keluar dari gedung.

Baca juga: Iklan media massa menurun, Komisi Konsumen Australia serukan regulasi konten digital

Baca juga: Apa keunggulan beriklan di media digital?


Sebelumnya, Express --surat kabar gratis yang diterbitkan pada hari kerja oleh The Washington Post untuk pengguna Metro dan penumpang lainnya, harus mengakhiri perjalanan 16 tahunnya pada Kamis 12 September lalu.

Express pernah berjaya. Sekitar 190.000 koran dibagikan setiap pagi di stasiun Metro dan melalui kotak surat kabar. Saking populernya koran yang dirancang untuk bacaan cepat para penumpang Metro itu, ada wacana untuk diterbitkan edisi sore untuk perjalanan pulang.

Seiring berjalannya waktu, peredarannya justru menurun. Dan akhirnya keok. Perubahan teknologi dan kebiasaan manusia menggunakan smartphone selama perjalanan mereka, pada akhirnya membinasakan kertas cetak seperti Express.

"Hope you enjor your stinkin' phones" tulis Express besar-besar pada sampul depan di edisi finalnya.

Baca juga: Belanja iklan di media digital capai Rp9,3 triliun

Baca juga: Media sosial kini jadi wadah diplomasi secara digital


Di Indonesia, puluhan media cetak sudah gulung tikar. Di antaranya sudah memiliki nama besar. Sebut saja Tabloid BOLA yang harus berpamitan tahun lalu setelah 34 tahun mengawal dunia olahraga Indonesia.

Tabloid BOLA menyusul kepergian majalah Hai, Kawanku, GoGirl, dan The Rolling Stone yang mencoba peruntungan untuk banting setir di media online.

"Jurnalisme di seluruh dunia mengalami tantangan besar dalam 10-15 tahun terakhir akibat perubahan model ekonomi, transformasi teknologi, tumbuhnya sosial media, fake news, ketidakpercayaan masyarakat, dan permusuhan politik," ungkap President of Reporter Without Borders (RSF) Pierre Haski dalam pidatonya di KPF Journalism Conference 2019 yang digelar di Seoul, beberapa waktu lalu.

Di beberapa negara, jurnalisme bertahan, dengan jumlah yang berkurang. Menurut Pierre, media sedikit terlambat untuk bangkit. Kelengahan itu telah membuat media menjadi rentan.

"Untuk itu, kita mempertanyakan dasar-dasar jurnalisme, yang tetap valid dengan teknologi apa pun yang kita gunakan dan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari tatanan demokrasi," katanya.

KPF Journalism Conference 2019 yang digelar oleh Korea Press Foundation di Seoul, pada 24-25 Oktober lalu mengangkat tema besar tentang generasi muda, teknologi, dan strategi. Tiga hal tersebut masih menjadi tantangan media saat ini, akan tetapi di sisi lain bisa menjadi "penyelamat" media itu sendiri.

Sebanyak 24 pembicara yang datang dari media maupun universitas berbagai negara itu mengungkap fakta-fakta generasi muda dan transformasi teknologi yang, mau tidak mau, memaksa perubahan pada strategi media.

Baca juga: Mengurangi hoaks, pembatasan medsos atau literasi digital?

Media, generasi kini, dan strategi
 
Para pembicara yang berasal dari berbagai kalangan di Korea Press Foundation (KPF) yang digelar di Seoul, 24-25 Oktober. KPF Journalism Conference 2019 mengangkat tema generasi muda, teknologi, dan strategi. (ANTARA News/Monalisa)


Jika konten berita lebih banyak dan mudah diakses daripada sebelumnya, mengapa generasi muda mengonsumsi berita pada tingkat yang lebih rendah daripada generasi sebelumnya? Apa yang dapat dilakukan organisasi media untuk menarik generasi saat ini?

Stephanie Edgerly, Associate Professor dari Northwestern University mengatakan ada pergeseran minat membaca berita dari generasi muda sekarang.

"Menjawab pertanyaan ini sangat penting tidak hanya dalam jangka pendek untuk merancang inovasi yang menargetkan kelompok ini, tetapi juga dalam jangka panjang, untuk mengamankan generasi konsumen berita di masa depan," ujarnya.

Stephanie yang dalam penelitian bagaimana media modern mengubah cara audiens mengonsumsi berita menggambarkan bahwa di dunia media saat ini, berita seperti di dalam sebuah supermarket. Orang akan memilih jenis berita apa yang mau mereka baca.

Faktanya, berdasarkan data survei nasional remaja di Amerika Serikat rentang usia 12-17 tahun, ungkap Stephanie, hanya 14 persen remaja yang mengonsumsi berbagai macam berita (news omnivores). Tercatat 52 persen yang tidak membaca berita (the un-audience).

Baca juga: Media digital versus buku teks

Baca juga: Ketika Teknologi Menjadi Pengawas Kita


Fakta ini juga melanda Korea Selatan, tetapi berhasil ditangkis dengan strategi oleh beberapa media yang menyasar milenial di negeri gingseng tersebut. Jin Young Park, CEO UPPITY, pernah jatuh bangun sebelum akhirnya sukses membangun media yang melayani generasi perempuan milenial yang bekerja.

"Kami pernah jatuh sebelum memulai brand yang disebut UPPITY. Brand sebelumnya adalah POV. POV gagal. Gagal karena kami tidak memahami kebutuhan dan situasi target pelanggan kami," jelas Jin Young.

Ia dan timnya kemudian melakukan riset, membuat pertemuan dengan target pelanggan dan memperhatikan gaya hidupnya, minat, serta masalah mereka.

"Dalam prosesnya, kami dapat menemukan masalah yang jelas, yakni 'masalah uang' yang dimiliki pelanggan. Sebagai hasilnya, kami datang untuk menciptakan solusi yang sama sekali berbeda untuk pelanggan yang sama. Jawabannya ditemukan di target, dan target penelitian adalah salah satu cara yang paling efektif," paparnya.

Menurut Jin Young, hasil penelitian menjadi kerangka kerja layanan UPPITY.

"Di pasar saat ini di mana target semakin tersegmentasi, misi pertama yang perlu dilakukan media adalah 'penelitian target' bukan 'produksi konten'," ujarnya.

Selain menggunakan email newsletter, UPPITY juga menjaga hubungan dengan pembacanya lewat acara seminar tentang investasi dan mengadakan kursus online.

Pentingnya mengenal kebutuhan pembaca generasi kini diperkuat oleh pengalaman NEWNEEK, media asal Korea Selatan yang berhasil memimpin di pasar buletin email Korea.

"Semakin kita meneliti tentang pembaca yang tidak membaca berita, bukan berarti milenial tidak membaca berita, tetapi kami menemukan bahwa mereka tidak memiliki pilihan untuk memilih berdasarkan karakteristik dan gaya hidup mereka," kata CEO NEWNEEK So Youn Kim.

Baca juga: Media cetak harus kembali menangkan kepercayaan publik

Baca juga: Dewan Pers ajak media massa kawal janji politik Pemilu 2019


Ia mengungkapkan, ada tiga kesulitan dalam konsumsi berita milenial Korea Selatan yang disurvei oleh NEWNEEK. Pertama, tidak ada waktu, dan mereka bingung tentang apa yang harus dicari. Kedua, sulit untuk memahami isinya dan mereka tidak mengetahui konteks sebelumnya. Ketiga, diganggu oleh komentar agresif dari iklan dan generasi yang lebih tua.

"Karena itu, NEWNEEK berfokus pada menciptakan solusi untuk ketiga masalah tersebut. Solusi NEWNEEK berhasil memenangkan hati milenial yang tidak membaca berita," tambah So Youn.

Hanya dalam waktu sembilan bulan setelah rilis, NEWNEEK sudah memperoleh 70.000 pelanggan dari mulut ke mulut. Sebagian besar pelanggan berusia akhir 20-an dan awal 30-an tahun, yang awalnya tidak menonton berita, dan tingkat buka email NEWNEEK adalah 45-50 Persen, yang dianggap sangat tinggi di pasar email.

"Hal terpenting yang harus dilakukan adalah memiliki 'hubungan'. NEWNEEK memberi nama pelanggan 'NEWNEEKERS' untuk membuat hubungan yang baik dengan mereka, berkomunikasi, dan mengubah konten berdasarkan percakapan. Ikatan dan kepercayaan yang tercipta dari hubungan yang baik menjadikan dasar untuk upaya yang lebih beragam," papar So Youn.

Media, teknologi, dan bisnis

BBC, sebagai stasiun televisi dan radio besar yang dibentuk pada tahun 1922, pernah kehilangan audiens-nya secara signifikan. Ketika lanskap digital telah berevolusi, BBC yang saat itu masih sebagai media penyiaran tradisional kehilangan posisinya di kalangan audiens berusia 35 tahun ke bawah. Sementara Netflix, Apple, dan Youtube menjadi bintang baru.

Apakah itu ancaman atau justru peluang? Adakah cara yang lebih baik untuk melaporkan dan menyajikan berita untuk membuatnya lebih mudah diakses, menarik, dan relevan?

Mukul Devichand selaku Executive Editor BBC Voice + AI mengatakan, "audiens kaum muda adalah "North Star untuk organisasi media."

Kemudian BBC menggelar survei pada kalangan usia di bawah 25 tahun. Selanjutnya, BBC mengembangkan format cerita digital yang inovatif untuk Generasi Z. Mereka bereksperimen dalam "membuat atomisasi" berita, mengembangkan layanan berita interaktif asisten suara.
 
Zoe Murphy selaku Editor, News & Information Services, BBC Voice + AI yang menjadi salah satu pembicara di Korea Press Foundation (KPF) yang digelar di Seoul, 24-25 Oktober 2019, memaparkan strategi BBC menghadapi tantangan media saat ini. (ANTARA News/Monalisa)



Menyediakan berita-berita yang lebih personal yang dilakukan BBC, maupun UPPITY dan NEWNEEK sepertinya cukup berhasil mengamankan pelanggan mereka.

Era media sosial menggeser konsep kepercayaan menjadi pertanyaan. Saat berita-berita palsu semakin marak dan mudah tersebar, orang-orang kehilangan kepercayaan mereka pada sebuah informasi. Pendekatan secara personal kepada pembaca, dinilai bisa mengembalikan kepercayaan itu, setidaknya untuk sementara. Namun, sampai kapan?

Director Reuters Institute for the Study of Journalism, Rasmus Kleis Nielsen mengingatkan bahwa bisnis media saat ini sangat dan akan menjadi sulit.

Di Indonesia, bisik-bisik efisiensi karyawan di perusahaan media dan stasiun TV kembali terdengar lebih kencang akhir-akhir ini.

Organisasi media harus dapat membangun bisnis berita yang berkelanjutan dalam arus transformasi media digital, seluler, dan platform yang berubah secara radikal dan memungkinkan persaingan yang jauh lebih tinggi.

"Yang lama akan berjuang untuk beradaptasi, dan banyak pendatang baru yang lahir secara digital akan runtuh, tetapi mereka yang mampu menjangkau khalayak luas dan terutama mereka yang mampu secara efektif membedakan dan menawarkan produk berkualitas akan menemukan banyak peluang di depan, peluang untuk membangun bisnis berkelanjutan di seputar jurnalisme independen dan profesional," papar Rasmus.

Baca juga: Merangkul teknologi jaringan 5G

Baca juga: Oscar Motuloh: Sejak awal Kantor Berita ANTARA akrab dengan media online


Setidaknya, hal tersebut juga sudah dibuktikan oleh Mediapart, situs berita harian asal Prancis yang sudah berdiri sejak 11 tahun lalu dan masih tumbuh pesat, tanpa iklan maupun subsidi.

Hingga saat ini, Mediapart memiliki 160.000 anggota yang membayar dan 4,7 juta pengguna bulanan. Sejumlah pendiri dan jurnalis menjadi pemegang saham yang stabil memiliki 62 persen dari ekuitas.

"Mediapart adalah kisah sukses, sangat menguntungkan secara ekonomi, yang terus berkembang dalam sebelas tahun. Kunci keberhasilannya adalah pertahanan nilai, yakni nilai informasi, nilai publik, nilai demokrasi," ungkap Marie-Hélène Smiejan-Wanneroy selaku Co-Founder & Managing Director Mediapart.

Pada akhirnya, organisasi media tidak boleh lengah lagi dan terlambat berlari. Sudah saatnya, media bersama-sama mengembalikan marwah mereka sebagai sumber informasi yang kredibel dan bernilai dengan merangkul generasi muda dan teknologi secara optimal.

Baca juga: Konvergensi media, sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan

Baca juga: Sering "online" bikin tak kreatif, Channing Tatum pamit dari medsos

Pewarta: Monalisa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2019