dengan memberikan nilai tertentu pada karbon diharapkan ada perubahan perilaku
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR ) Fabby Tumiwa mengatakan Pemerintah Indonesia perlu mulai memikirkan penerapan pajak karbon untuk memenuhi target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai Kesepakatan Paris (Paris Agreement).
Definisi pajak karbon atau carbon tax ini memberikan harga pada karbon, dan ini juga merupakan bentuk carbon pricing yang memang didesain dengan metodologi tertentu sehingga menghasilkan nilai, yang tujuannya mengubah perilaku pihak yang terkena terhadap cara dia menghasilkan karbon.
“Perlu ditekankan, dengan memberikan nilai tertentu pada karbon diharapkan ada perubahan perilaku. Siapa terkena carbon tax, lalu mengubah cara berinvestasinya,” kata Fabby di Jakarta, Jumat .
Baca juga: Potensi penurunan emisi dari Perhutanan Sosial 34,6 persen target NDC
Baca juga: Hutan alam perlu diperluas untuk capai target penurunan emisi
Dengan menerapkan pajak karbon artinya benar-benar tidak lagi hanya pemerintah yang melakukan upaya menurunkan emisi GRK 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan dukungan pihak lain di 2030 sesuai target Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia.
Menurut Fabby, pendekatan di Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) lebih menekankan pada aktivitas pemerintah saja. Dan untuk memenuhi NDC Indonesia jelas tidak cukup hanya pemerintah saja.
“Harus pelakunya juga, sekarang mau enggak mau harus lebih ambisius ke pelaku usaha. Lalu instrumennya apa yang mau digunakan, perlu diterjemahkan biayanya ke ekonomi. Ujungnya memang harus ada political will,” kata dia.
Baca juga: Madani: Jangan ada pelemahan kebijakan iklim atas nama investasi
Baca juga: COP25 berpindah dari Brazil hingga Spanyol
Lebih lanjut ia mengatakan banyak opsi yang dapat digali pemerintah untuk mekanisme pajak karbonnya. Dirinya menilai pemerintah belum mengoptimalkan policy leverage.
“Indonesia sedang ditanya, dibandingkan negara G20 lainnya, Indonesia belum punya target emission pick. China, India, Brazil sudah ada emission pick, mereka sudah tahu kapan itu terjadi, tapi Indonesia belum bisa jawab,” ujar Fabby.
Padahal jika melihat trajectory 1,5 derajat Celsius yang menjadi batas suhu global boleh meningkat maka, menurut dia, emission pick harusnya sekarang dan sebelum 2025.
“Artinya negara berkembang hanya diberikan waktu berubah sedikit, itu pun tidak lebih dari 2030 atau maksimal 2035," katanya.
Baca juga: COP25 penting karena Chile hendak dorong implementasi Paris Agreement
Baca juga: Menteri LHK upayakan kurangi penggunaan batubara
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya mengatakan lebih baik memulai dari sekarang, dihitung lagi dari awal carbon pricing untuk sektor-sektor pengemisi.
“Dari pada kita tunda-tunda, contohnya terus mau bergantung pada batu bara tapi lalu kita kolaps," katanya.
Ini alasan Madani Berkelanjutan akan meluncurkan 1.000 gagasan investasi tanpa merusak hutan. “Kami undang semua untuk menuliskan gagasannya itu, meningkatkan ambisi pengendalian iklim, mengubah ekonomi business as usual ke ambisius lebih hijau,” ujar Teguh.
“Harapannya kalau selesai dalam satu tahun maka guncangan transisi hijau itu kita sudah akan ketahui. Lebih baik tahu di awal lalu buat antisipasi, solusi, dari pada kita kecanduan energi fosil dan tebang pohon terus, tiba-tiba tidak sadar sudah habis, kolaps kita,” kata Teguh.
Baca juga: GGGI: Komitmen kementerian-pemprov kunci kendalikan perubahan iklim
Baca juga: Jelang COP25 Chile, RI-Australia perkuat kerja sama bilateral
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019