Berbeda dengan sekolah pada umumnya, SR Iboe Inggit Garnasih menjadi kelas bagi anak-anak Lio Genteng selepas mereka belajar di sekolah formalnya masing-masing. Kelas yang digagas oleh pria kelahiran 7 Juni 1987 itu dibuka secara cuma-cuma setiap Kamis, Jumat, Sabtu dan Minggu.
"Materi pelajarannya berbeda-beda kalau hari Kamis, saya yang mengajar untuk materi sejarah, Bahasa Belanda dan seni, kemudian hari Jumat ada materi bantu tugas sekolah, itu diisi oleh sukarelawan dari siswa SMA 4 untuk membantu anak-anak mengerjakan sekolahnya," kata Gatot.
Embrio SR Iboe Inggit Garnasih sebenarnya telah dimulai Gatot cukup lama. Kecintaannya pada seni dan sejarah membuat pria yang berprofesi sebagai penari ini punya banyak visi untuk menggabungkan keduanya dalam satu wadah.
Muncul kemudian kelompok seni tari "Kelompok Anak Rakyat" pada 2014 yang banyak membuat tari berdasarkan peringatan hari kelahiran tokoh seperti Sukarno, Inggit Garnasih, Ir H Juanda, atau Dr. Setiabudhi.
Baca juga: Sakola Ra`jat Inggit "rumah" anak tak mampu di Bandung
Gatot bersama kawan-kawannya di Lokra juga sempat merilis sebuah koran dengan ejaan Ophuisjen (ejaan yang lazim digunakan saat masa prakemerdekaan atau Indonesia masih Hindia Belanda) bernama Sampoer Merah pada 2017.
"SR Iboe Inggit Garnasih juga lahir dari teman-teman Lokra yang setiap bulan Februari memperingati kelahiran Ibu Inggit, sebagai "Bulan Inggit Garnasih". Dari situ kami mulai menyebarkan semangat Inggit Garnasih lewat SR ini," kata Gatot.
Selain materi sejarah, Bahasa Belanda, dan seni, Gatot bersama kawan-kawan yang kemudian aktif di SR juga memfasilitasi kesukaan anak didiknya di SR Iboe Inggit Garnasih yakni bermain sepak bola.
Namun, lagi-lagi sejarah tak luput dari klubnya. Gatot menamakan kelompok sepakbola anak-anak ini dengan nama Maulwi Saelan Voetbalclub (MSV).
"Maulwi Saelan ini seorang penjaga gawang legendaris yang juga ajudan pribadi Presiden Sukarno. Beliau militer yang juga aktif di dunia pendidikan. Untuk pelajaran olahraga ini dibimbing langsung oleh salah satu orang tua murid Sekolah Ra'jat," ucap dia.
Baca juga: Komunitas di Bandung deklarasikan "Bulan Cinta Inggit Garnasih"
Alasan Gatot mendirikan SR Iboe Inggit Garnasih di Lio Genteng bermula dari ajakan Sandi, temannya yang merupakan warga di kawasan tersebut. Kebetulan, kawasan itu dekat dengan rumah istri kedua Sukarno, Inggit Garnasih.
Gatot menyambut ajakan itu dengan melibatkan para pemuda setempat dalam gelaran "Bulan Inggit Garnasih 2017". Masyarakat pun antusias dengan menyajikan pertunjukkan seni, pameran memorabilia Ibu Inggit, hingga pawai obor dan renungan suci.
"Kegiatan di Lio Genteng memang menyasar masyarakat kecil, dan responsnya bagus, lalu saya dan Sandi membuat Sekolah Ra'jat dengan menggunakan nama Ibu Inggit. Menggunakan nama Ibu Inggit itu sudah sepengetahuan pihak keluarga Bu Inggit," kata dia.
Selain hendak mengajak serta masyarakat sekitar untuk terlibat, Gatot mengaku prihatin dengan lingkungan daerah tersebut, terutama bagi anak-anak. Ada di antaranya yang putus sekolah atau pergaulan yang kurang ramah, seperti tidak mengenal tata krama pada orang tua, kerap melontarkan kata-kata kasar, hingga berkelahi.
"Ini yang kemudian kami fokuskan. Karena mereka banyak yang putus sekolah, kondisi orang tuanya juga banyak yang menengah ke bawah. Belum lagi lingkungannya juga cukup memprihatinkan. Dan saya percaya sejarah bisa membangun karakter mereka," ucap dia.
Namun, apa yang disemai Gatot tentang sejarah kepada anak-anak Lio Genteng berbeda dengan di sekolah-sekolah pada umumnya. Jika di sekloah belajar sejarah sangat tekstual dan identik dengan hapalan, di Sekolah Ra'jat, pelajaran sejarah menjadi tempat untuk merekonstruksi peristiwa itu kembali.
Para siswa akan menggunakan seragam baju tradisional berupa pakaian menak Sunda ditambah blangkonnya, belajarnya tidak hanya di aula atau di rumah Inggit Garnasih saja. Mereka juga terbiasa mengunjungi situs-situs sejarah untuk memperingati hari-hari penting dalam perjalanan Bangsa Indonesia.
Contohnya saja pada 27 Juni 2019, anak-anak di SR melakukan peringatan berakhirnya Perang Dunia II di Ereveld Pandu, Bandung. Di sana mereka melakukan Upacara Peletakakan Karangan Bunga di Algemeen Monument untuk menghormati arwah para koeban Perang Dunai II, Perang Asia Pasifik dan Perang Revolusi Indonesia.
Anak-anak tersebut juga terlibat dalam peringatan 100 Tahun Nelson Mandela dengan upacara dan pagelara seni, peringatan hari lahir mantan perdana menteri masa Orde Lama Ir. Juanda dan juga peringatan "Penyerahan Kedaulatan Indonesia"
"Menurut saya belajar sejarah itu memang enggak afdol kalau tidak merasakan langsung suasananya, jadi mereka enggak cukup dengan bukti rill seperti foto, tetapi juga harus bisa merasakan langsung suasana dahulu itu seperti apa. Maka anak-anak di SR Iboe Inggit Garnasih diminta berseragam baju tradisional, gurunya juga harus memberi contoh seperti itu," kata Gatot yang menyelesaikan pendidikan sarjananya di Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, jurusan Seni Tari.
Dengan begitu, kata Gatot, anak-anak akan memiliki gambaran bagaimana peristiwa sejarah itu terjadi, mereka akan mengenal bagaimana negara ini terbentuk dan akhirnya akan menghargai jasa para pahlawan, serta dapat membentuk rasa bangga dan percaya diri pada anak.
"Orang tua justru senang aja anaknya digituin-gituin, daripada anaknya liar, mainnya tak terarah," ucap dia.
Baca juga: Happy Salma masih sulit pentaskan Monolog Inggit
Setelah dua tahun berjalan dan meluluskan dua angkatan lewat prosesi adat, sekolah itu kini memiliki 40 siswa SD dan enam siswa SMP, serta enam pengajar. Dia juga melibatkan para remaja dari usai 17-20 tahun untuk terlibat langsung dalam keorganisasian SR itu.
Harapannya, ke depan SR akan dikelola secara mandiri oleh masyarakat di sana, karena Gatot mengatakan sekolah itu dibuat bukan untuk dirinya atau Lokra, tetapi untuk masyarakat Lio Genteng.
Kini, tak hanya anak-anak yang ingin terlibat dalam kegaitan SR, para orang dewasa pun ikut mengisi dengan kegiatan seni. Biasanya ibu-ibu ikut berlatih tari sedangkan bapak-bapak ikut menyiapkan properti untuk pawai jika sedang ada kegiatan.
Mengenai dana, Gatot mengatakan sekolah itu berjalan swadaya, dia ingin mencontoh semangat Inggit Garnasih yang rela berkorban apa saja demi kemerdekaan Indonesia.
"Ya Lillahita'ala, apa yang saya punya ya saya berikan. Kadang-kadang orang-orang dewasa juga ikut gotong-royong, urunan untuk kegiatan anak-anak di SR," kata dia.
Menyukai sejarah sejak kecil
Sejarah bukan hal baru bagi Gatot. Sejak kecil ayahnya selalu mengenalkan sejarah pada Gatot lewat dongeng sebelum tidur, misalnya tentang perjuangan Pangeran Diponegoro, atau tentang Presiden pertama RI Sukarno.
Kesan mendalam tentang sosok Sukarno juga didapatnya ketika dia melihat lukisan Sukarno di rumah tetangganya, seorang ibu tua yang sempat mengalami era kepemipinan Soekarno.
Melalui ibu itu, Gatot yang masih bersekolah di TK, sering mendengar banyak kisah heroik tentang Putera Sang Fajar tersebut.
"Itu terbawa di pikiran saya sampai waktu kecil cerita itu kerap terbawa di mimpi-mimpi saya. Semakin saya dewasa saya semakin ingin cari tahu tentang sosok Bung Besar ini. Literasi semakin banyak, apalagi setelah kejatuhan Orde Baru, dari situ ya sering dapat saja referensi tentang beliau," ucap dia.
Sementara persinggungan Gatot dengan seni juga bukan hal baru. Ayahnya sudah mengakrabkan Gatot dengan seni budaya sejak kecil misalnya lewat kegiatan menonton wayang sampai cerita yang dipertunjukkan usai.
Lambat laun dari situ Gatot mulai merambah ke seni tari secara profesional. Kuliahnya di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Pasundan ditinggalkan untuk kemudian mengambil mata kuliah seni tari di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung yang kini telah bertransformasi menjadi ISBI.
Kesukaannya pada dua hal ini kemudian diwujudkan dalam kegiatannya di Lokra. Itu pun berjalan tak sengaja. Kesukaannya pada sejarah membuat Gatot kerap mengoleksi barang antik dan mencari tahu tentang sejarahnya. Ketika kemudian sering membuat tarian di Lokra, barang antik yang secara bertahap dia koleksi ternyata bisa digunakan untuk properti penampilan tarinya.
"Jadi sejarah bener-benar motivasi buat saya dengan pendekatan seni budaya," ucap dia.
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019