Politikus Partai Golkar Iqbal Wibisono menilai larangan eks koruptor sebagai peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 kurang manusiawi dan melanggar putusan Mahkamah Agung, apalagi di dalam Undang-Undang Pilkada tidak ada persyaratan yang menyangkut mantan terpidana korupsi.Jadi, bila KPU berencana memasukkan larangan mantan terpidana korupsi sebagai peserta pilkada dalam PKPU, akan mengulangi hal yang sama ketika penyelenggara pemilu ini mengeluarkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018
"Orang sudah sudah divonis oleh majelis hakim dan sudah selesai menjalani hukuman secara undang-undang mestinya sudah menjadi warga negara seperti halnya masyarakat kebanyakan," kata Ketua Harian DPD I Partai Golkar Provinsi Jawa Tengah Dr. H.M. Iqbal Wibisono, S.H., M.H. di Semarang, Rabu pagi.
Ditegaskan pula bahwa hukuman atau pemasyarakatan yang sudah dijalani adalah balasan atau risiko yang harus ditanggung oleh setiap warga negara yang lakukan kesalahan. Atas keputusan majelis hakim, yang bersangkutan harus menjalani hukuman dengan sungguh-sungguh di lembaga pemasyarakatan.
Baca juga: DPR RI gelar Forum Legislasi bahas Pilkada Langsung, apa masalahnya?
Baca juga: Kemendagri dukung usulan larangan eks koruptor ikut pilkada
Setelah selesai menjalani hukuman, menurut Iqbal, semestinya mendapatkan perlakuan hukum yang sama, termasuk juga mantan koruptor. Pasalnya, tidak semua eks napi koruptor itu selalu merugikan negara yang material.
"Banyak mantan napi koruptor yang tidak merugikan negara divonis/dihukum oleh hakim karena turut membantu atau malaadministrasi," kata alumnus Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) ini.
Menyinggung KPU yang akan memasukkan larangan eks koruptor sebagai peserta pilkada dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), Iqbal menegaskan bahwa eks koruptor tetap bisa menjadi calon peserta pilkada karena tidak ada larangan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
"Jadi, bila KPU berencana memasukkan larangan mantan terpidana korupsi sebagai peserta pilkada dalam PKPU, akan mengulangi hal yang sama ketika penyelenggara pemilu ini mengeluarkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018," kata Iqbal.
Baca juga: Ganjar: Pilkada dipilih DPRD rawan jual beli
Dalam PKPU No. 20/2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, kata dia, tanpa ada frasa "kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana". Padahal, frasa ini temaktub di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Iqbal mengingatkan KPU untuk mematuhi putusan Mahkamah Agung. Di dalam Putusan MA Nomor 46 P/HUM/2018 menyatakan Pasal 4 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1) Huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU No. 20/2018 sepanjang frasa "mantan terpidana korupsi" bertentangan dengan UU No. 7/2017 Pemilihan Umum juncto UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Praturan Perundang-undang.
Politikus Partai Golkar ini meminta penyelenggara negara harus menghormati hukum positif sebagai pedoman bahwa hilangnya hak politik seseorang harus dengan putusan majelis hakim pengadilan, atau ada undang-undang yang melarang eks koruptor menjadi peserta pilkada.
"Buatlah aturan hukum yang baik tetapi tetap menghormati, tidak merugikan, dan tanpa menghilangkan hak asasi seseorang sebagai warga negara," kata Iqbal Wibisono.
Baca juga: KPU ingin ada aturan tegas larang mantan koruptor ikut pilkada
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2019