"Salah satu yang paling penting adalah aspek mendapatkan izin. Untuk memperoleh SK pengelolaan tidak segampang yang kita bayangkan sehingga kadang-kadang menghabiskan waktu setahun sampai dua tahun karena di bawah itu timbul beberapa permasalahan," ujar Roni pada konferensi pers pembentukan AP2SI di Jakarta pada Rabu.
Menurut dia, sebagai salah satu program prioritas pemerintah dan masuk Program Strategi Nasional yang tertuang dalam Perpres Nomor 56 Tahun 2018 seharusnya ada dukungan politik dari pemerintah agar program tersebut bisa berjalan maksimal.
Baca juga: Kelompok tani hutan bentuk Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial
Baca juga: Pengamat sodorkan dua langkah menyelesaikan Karhutla
Baca juga: 1.645 ha Hutan Adat di Kalimantan diserahkan pemerintah
Melihat terjadinya beberapa hambatan tersebut, akhirnya 51 kelompok tani hutan (KTH) dari 17 provinsi sepakat membentuk wadah yang bertujuan menguatkan pengelolaan hutan sosial di Indonesia dan membantu permasalahan yang dihadapi pemanfaat hutan sosial.
Sejauh ini, menurut Roni, beberapa pemanfaat hutan masih mengalami hambatan dan belum berjalan maksimal. Layanan birokrasi administrasi dan aspek penunjang jalannya perhutanan sosial seperti sosialisasi dan pendampingan masih belum berjalan sebagaimana mestinya.
"Bahwa dukungan dari pihak pemerintah mudah-mudahan menjadi lebih baik sehingga mereka pun bisa mendorong ke kelompok-kelompok lain yang belum mendapatkan akses sehingga bisa membantu dalam aspek administrasi," ujar dia.
Hingga Juni 2019, tercatat perhutanan sosial yang telah diakses masyarakat sudah mencapai 3,4 juta hektare dari 12,7 juta hektare yang ditargetkan oleh pemerintah. Sekitar 755 ribu kepala keluarga terlibat di situ dan memberi manfaat kepada lebih dari 3 juta jiwa.*
Baca juga: Potret pengelolaan hutan tanaman rakyat di Lubuk Seberuk
Baca juga: Baru 35 persen, pengelolaan hutan sosial di Sumsel
Baca juga: Kementerian LHK serahkan SK hutan adat di Sumbar
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019