Soal perkawinan dibahas sengit dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Senayan Jakarta, Senin.Tolong dijawab serius kaitannya tadi antara kawin-pernah kawin dengan masalah kependudukan. Kata Dukcapil tadi yang belum berumur 17 tahun tapi pernah kawin diberikan KTP. Nah, ini bagaimana hak pilihnya?," tanya Johan.
Pasalnya, salah seorang anggota Komisi II DPR RI, Johan Budi mempertanyakan kepada Sekretaris Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil agar mau menjelaskan kaitan perkawinan dengan masalah hak pilih penduduk.
"Tolong dijawab serius kaitannya tadi antara kawin-pernah kawin dengan masalah kependudukan. Kata Dukcapil tadi yang belum berumur 17 tahun tapi pernah kawin diberikan KTP. Nah, ini bagaimana hak pilihnya?," tanya Johan.
Sebelumnya, Sekretaris Dukcapil I Gede Suratha mengatakan, soal boleh tidaknya memilih di dalam Tempat Pemungutan Suara (TPS) sepenuhnya kewenangan KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Baca juga: Gelar rapat, DPR kritik waktu kampanye pilkada 2020
Tapi ia menambahkan, menurut aturan kependudukan, meskipun belum berusia 17 tahun, seseorang tetap berhak memperoleh KTP jika sudah pernah menikah.
Namun lain lagi jika mengurus akta nikah, menurut dia, akan jauh lebih sulit daripada memperoleh KTP. Oleh karena itu, jika akta nikah ingin dipersyaratkan untuk memilih di dalam Pasal 2 ayat 5 Rancangan Peraturan KPU, maka sebaiknya akta nikah dijadikan opsi bila seseorang tidak memiliki KTP.
"Supaya upaya kita memberikan ruang kepada hak politik warga negara jadi lebih longgar," ujar Gede.
Namun, pernyataan itu menimbulkan spekulasi bagaimana penerapan peraturan itu bagi mereka yang menyelenggarakan perkawinan menurut hukum adat atau agama.
Baca juga: Komisi II gelar RDP bersama KPU-Bawaslu bahas persiapan pemilu
Gede mengatakan, terkadang akta nikahnya tidak ada, namun pernikahannya sah menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
"Maka menurut UU 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, itu tidak mempersyaratkan akta nikah," ujar Gede.
Menurut Gede, saat ini dalam peraturan boleh mengeluarkan surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM) bahwa seseorang melaksanakan perkawinan disertai oleh saksi yang berhak menyaksikan.
Aturan SPTJM dibuat karena sejak dulu ada peristiwa kawin massal yang tidak dicatatkan di dalam administrasi kependudukan sehingga dibuat penyesuaian dengan SPTJM tersebut.
Baca juga: KPU gelar uji publik PKPU Pilkada 2020
Kementerian Dalam Negeri dalam hal ini Direktorat Jenderal Dukcapil, Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum serta Direktorat Jenderal Otonomi Daerah menerima baik saran dari KPU maupun Bawaslu tentang rancangan PKPU soal pemutakhiran data pemilih dan penyusunan data pemilih pada Pasal 11,
Petugas Panitia Pemutakhiran Data pemilih (PPDP) melakukan kegiatan pencocokan dan penelitian (coklit) dengan cara mencoret data pemilih yang telah dipastikan tidak ada keberadaannya setelah melakukan konfirmasi kepada keluarga, tetangga atau pengurus rukun tetangga/rukun warga.
"Pandangan kami bahwa harus dipastikan apa yang dimaksud dengan frasa 'tidak ada keberadaannya'. Hal tersebut dapat menimbulkan multitafsir pada saat coklit di lapangan karena ketidakjelasan makna tersebut," kata Pelaksana tugas Dirjen Polpum, Bahtiar.
Baca juga: Soal PKPU, DPR akui ada kekosongan hukum dalam UU Pilkada
Sementara itu, Dirjen Otonomi Daerah Akmal Malik memberikan catatan terkait pemutakhiran data yang belum mengakomodir seluruh kondisi di lapangan.
"Secara umum kami sangat menghormati catatan-catatan yang dilakukan oleh KPU terkait dengan rencana pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih," kata Akmal.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2019