Dia terlatih menuang bubuk kopi di sendok takar, mengatur suhu air hingga meraciknya menjadi espresso yang sedap dengan crema mengambang diatas gelas.
Kopi yang dipakai merupakan campuran arabica dan robusta asli Bali dengan takaran yang pas sehingga rasanya tidak begitu asam dan rasa pahit yang tidak terlalu pekat.
Sementara Krida Lesmana, pemuda berkacamata, berkulit putih asal Bali juga berdiri di samping Tri. Jika dilihat sepintas, keduanya tidak berbeda dengan barista di kedai-kedai kopi yang tengah menjamur saat ini.
Dengan celemek hitam sebatas lutut dan topi di kepala, penampilan mereka tak kalah keren dengan anak muda peracik kopi lainnya.
Budaya minum kopi telah lama hadir di tengah masyarakat Indonesia, terlebih lagi dengan melejitnya pamor kopi-kopi lokal saat ini ditambah menu seduhan kopi yang kian bervariasi sehingga semakin menyuburkan lahirnya kedai kopi di Tanah Air.
Kedai kopi atau disebut kafe saat ini bukan hanya digandrungi oleh orang-orang tua tapi juga merambah generasi milenial, sebagai tempat berkumpul, nongkrong bahkan menjadi tempat kerja.
Dengan menjamurnya kafe, tentu membutuhkan tenaga barista atau peracik kopi yang punya keahlian dalam menyajikan kopi tentunya.
Pekerjaan sebagai barista saat ini juga semakin naik pamor karena mereka bukan hanya sekedar menyeduh kopi lalu menyajikannya, tapi memastikan cita rasa kopi dengan keunikannya sesuai dengan selera pelanggan.
Tapi berbeda dengan Tri dan Krida, mereka adalah barista yang memiliki kelebihan yaitu mampu meracik kopi tanpa melihat, karena mereka adalah penyandang disabilitas netra.
Baca juga: Penyandang disabilitas bangun perusahaan rintisan Kopi Tuli
Baca juga: Melawan diskriminasi lewat kopi
Baca juga: BBRSPDI Temanggung rancang kurikulum edukasi kopi penyandang disabilitas
Artne Coffee
Selama setahun Tri, Krida dan beberapa penyandang disabilitas netra yang dibimbing di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN) Mahatmiya Bali dilatih menjadi barista.
Mereka dilatih oleh Agung, instruktur di balai yang secara turun temurun sudah memiliki keahlian meracik kopi. Agung juga punya pengalaman sebagai bartender. Ilmu yang didapatnya ituah yang diajarkan kepada anak-anak didik di balai.
"Selama ini orang hanya tahu tunanetra jadi tukang pijit, jadi saya ingin meningkatkan kemampuan mereka, istilahnya naik kelas menjadi barista," kata Agung.
Dengan tekun ia melatih mereka, menakar bubuk kopi, meracik hingga menyajikan kopi. Untuk menyalurkan ilmu yang sudah didapat, Balai Mahatmiya yang berada di Tabanan, Bali membuka kedai kopi yang diberi nama Artne Coffee.
Nama Artne Coffe memiliki dua makna yaitu dari kata "Art" yang berarti seni dan "Ne" yang diambil dari Bahasa Bali artinya ini. Makna lainnya dari kebalikan kata netra.
"Seninya adalah semua dilakukan oleh penyandang disabilitas netra," kata Kasi Layanan Rehabilitasi Sosial BRSPDSN Mahatmiya, Herlin Wahyuni Hidayat.
Semua hal, mulai dari pembukuan hingga proses meracik, melayani pelanggan dari awal hingga akhir dilakukan oleh Tri dan kawan-kawan.
"Kami berbeda dari yang lain, Artne Coffee dikelola oleh disabilitas netra. Tapi untuk rasa kopi boleh diadu," ujar Tri sambil tersenyum menyebutkan salah satu gerai kopi luar negeri yang terkenal dengan logo putri duyung berwarna hijau.
Baca juga: Warga disabilitas berbagi dalam peringatan HDI
Baca juga: Sepak bola, merebut impian sekaligus penyemangat Candra
Baca juga: Kafe tunanetra hingga klub sepakbola amputasi ramaikan pameran HDI
Artne Coffee juga hadir karena mereka membaca peluang yang ada, dari hanya usaha pijat, biasanya pelanggan yang dipijat membawa pendamping, maka mereka melihat sebuah peluang agar pendamping juga tidak bisa menunggu, maka disajikan kopi.
Begitu juga dengan konsumen pijat mereka, seusai memanjakan tubuh, bisa relaksasi dengan dengan menikmati secangkir kopi maupun teh di kafe.
Tak banyak kendala yang dihadapi Tri dan Krida serta teman-teman sesama disabilitas netra selama berlatih menjadi barista, karena tentunya mereka punya intuisi yang tajam dan lebih peka dibandingkan orang biasa.
"Saya sudah punya ketrampilan (skill) pariwisata, jadi tidak begitu sulit berlatih menjadi barista," kata Tri yang menyandang low vision.
Namun bagi mahasiswi Politeknik Kesejahteraan Sosial Bandung itu, ia akan kesulitan jika barang-barang di kafe dipindahkan dari tempat semula.
"Awalnya orientasi tempat dulu, kalau letaknya pindah kami susah, diraba dihapalkan dulu kalau dipindah satu saja bingung. Itu tantangan terberatnya," katanya.
Selain menyediakan kopi nikmat, para pengelola Artne Coffee juga membuat parfum kopi, lulur dari ampas kopi dan kerajinan tangan lainnya.
Selain itu, kafe yang berada di Balai Mahatmiya itu juga menyediakan biji dan bubuk kopi, kata Krida yang juga berkuliah di Bandung.
Yang menyenangkan, Artne Coffee juga tidak pernah sepi pengunjung, bahkan para wisatawan asing juga menikmati kopi suguhan mereka. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan Tri dan teman-temannya meracik kopi diakui meski mereka tidak melihat.
Kekurangan yang mereka miliki tidak membatasi Tri dan Krida maupun para penyandang disabilitas lainnya untuk terus berkarya dan berkreasi. Dari tangan Tri dan Krida, seni dan kopi menyatu dalam secangkir kehangatan di Artne Coffee.*
Baca juga: Disabilitas di Jakarta sayangkan trotoar masih "dikuasai" pedagang
Baca juga: Kemensos gelar Hari Disabilitas Internasional wujudkan inklusi
Baca juga: Penanganan disabilitas bukan karena kasihan tapi pemenuhan hak
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019