"Sejak 2015 kami sudah melakukan pengenalan tipologi soal-soal yang berdaya nalar tingkat tinggi pada soal-soal Ujian Nasional (UN). Tapi ternyata tidak bisa dilakukan secara sesaat, harus dengan perubahan budaya," ujar Totok di Jakarta, Kamis.
Dia menambahkan perubahan budaya, juga harus dilakukan secara keseluruhan atau tidak bisa sepotong-potong. Totok memberi contoh harus dimulai dari siswa tersebut, karena siswa yang terbiasa membaca kemampuan berpikir tingkat tingginya lebih tinggi dari siswa yang tidak terbiasa membaca.
Baca juga: Kemendikbud: 40 persen siswa kesulitan jawab soal HOTS
"Jadi ketika kita ekspansi dengan mengenalkan tipologi soal seperti itu, ternyata tidak begitu berdampak. Ini tidak cukup dengan aturan, pola pikir, tapi harus dilakukan secara holistik," terang dia.
Totok juga mengatakan perubahan harus digerakkan secara bersama-sama, tidak hanya dari pemerintah melalui aturan. Masyarakat perlu terlibat aktif secara bersama-sama membenahi kualitas pendidikan.
Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang dirilis oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) di Paris, Perancis, Selasa, menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca meraih skor rata-rata yakni 371, jauh di bawah rata-rata OECD yakni 487.
Kemudian untuk skor rata-rata matematika yakni 379, sedangkan skor rata-rata OECD 487. Selanjutnya untuk sains skor rata-rata siswa Indonesia yakni 389, sedangkan skor rata-rata OECD yakni 489.
Baca juga: Guru-siswa harus belajar metode HOTS
Laporan OECD tersebut juga menunjukkan bahwa sedikit siswa Indonesia yang memiliki kemampuan tinggi dalam satu mata pelajaran, dan pada saat bersamaan sedikit juga siswa yang meraih tingkat kemahiran minimum dalam satu mata pelajaran.
Dalam kemampuan membaca, hanya 30 persen siswa Indonesia yang mencapai setidaknya kemahiran tingkat dua dalam membaca. Bandingkan dengan rata-rata OECD yakni 77 persen siswa.
Sedangkan untuk bidang matematika, hanya 28 persen siswa Indonesia yang mencapai kemahiran tingkat dua OECD, yang mana rata-rata OECD yakni 76 persen. Dalam tingkatan itu, siswa dapat menafsirkan dan mengenali, tanpa instruksi langsung, bagaimana situasi dapat direpresentasikan secara matematis.
Untuk sains, sekitar 40 persen siswa Indonesia mencapai level dua, bandingkan dengan rata-rata OECD yakni 78 persen. Pada kemampuan tingkat dua, siswa dapat mengenali penjelasan yang benar untuk fenomena ilmiah yang dikenal dan dapat menggunakan pengetahuan tersebut untuk mengidentifikasi, dalam kasus-kasus sederhana.
Baca juga: Pengamat: Peningkatan nalar siswa jangan hanya via USBN
Pewarta: Indriani
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019