Dilaksanakan di Gereja sementara Solaskriptura kawasan Suli Banda, para perempuan yang merupakan ibu rumah tangga dan remaja puteri yang juga korban gempa tektonik magnitudo 6,5 membagikan kisah KDRT yang dialami sendiri maupun yang terjadi di sekitar mereka.
Mereka saling berbagi cerita mengenai kekerasan fisik hingga psikis usai menonton film animasi pendek Impossible Dream yang dibuat oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Film yang menggambarkan rutinitas sepasang suami-istri dan perbedaan beban pekerjaan yang dilakukan, seolah menggugah para perempuan korban gempa ini untuk menceritakan apa yang terjadi dalam kehidupan mereka.
Baca juga: Pengungsi dampak gempa Ambon masih takut kembali ke rumah
Baca juga: PMI akan bangun sarana air bersih permanen bagi pengungsi gempa Ambon
Seorang ibu yang akrab dengan disapa Oma Ga bercerita dirinya kerap mengalami kekerasan psikis dari suami, mulai dari sering dikatai terlalu banyak menghabiskan uang belanja hingga perselingkuhan suami yang selalu berimbas pada pertengkaran besar.
Kendati demikian, ia tetap bersabar dan mencari jalan keluar dengan ikut bekerja mencari nafkah untuk mengatasi masalah kekurangan uang belanja dan tidak terlalu mempersoalkan perselingkuhan suaminya.
"Bicara KDRT, saya sendiri mengalaminya, anak saya itu saksinya. Suami selingkuh, marah-marah kalau uang belanja tidak cukup, saya pikir, ya, mungkin karena penghasilannya juga tidak seberapa, saya tetap sabar dan berdoa saja, biar Tuhan saja yang menunjukkan jalannya," ujarnya.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ny. Mada, seorang ibu dua anak. Dikatakannya seringkali pertengkaran yang terjadi antara dirinya dan suami juga dicampuri oleh ipar dan mertuanya.
Ia kerap dituduh tidak pandai mengurus rumah tangga dan menyebabkan suaminya selingkuh.
"Yang paling sering terjadi kalau kita ribut dengan suami tidak ada yang membela, malah disalahkan oleh ipar-ipar dan mertua. Katanya kita tidak pandai mengurus rumah tangga dan suami," ucapnya.
Baca juga: Korban gempa Ambon di Mamala-Morela terima bantuan kepolisian
Baca juga: BPBD sebut dana siap pakai gempa Ambon sudah sesuai peruntukan
Seorang ibu lainnya yang merupakan guru sekolah dasar, mengatakan beban pekerjaan dan tanggung jawab perempuan di dalam rumah tangga lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki.
Para perempuan harus bangun lebih pagi untuk mengurus segala keperluan suami hingga anak-anak, dan baru bisa beristirahat saat keluarganya sudah tidur.
Hal itu, terjadi terus menerus dan bahkan menurun hingga anak-anak perempuan, di mana mereka selalu ditugaskan untuk harus membantu ibunya, sementara anak laki-laki tidak demikian.
"Inilah yang harus dihadapi oleh perempuan, untuk pekerjaan di bidang industri, seperti buruh pabrik dan sebagainya, penghasilan perempuan dan laki-laki juga dibedakan, padahal beban kerja perempuan lebih besar," katanya.
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) merupakan kampanye internasional untuk mengurangi tingkat kekerasan terhadap perempuan.
Di Kota Ambon, kampanye ini sudah mulai dilaksanakan di sejumlah wilayah oleh banyak lembaga dan organisasi perempuan sejak 25 November 2019.*
Baca juga: ACT rencanakan pembangunan shelter bagi pengungsi gempa Ambon
Baca juga: Kapolda tawarkan pengobatan gratis penderita kanker di pengungsian
Pewarta: Shariva Alaidrus
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019