Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi di media briefing bertema "Menjelang 100 Hari Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf; Bagaimana Nasib Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat?" di Jakarta, Senin, mengatakan keberadaan Undang-Undang (UU) Masyarakat Adat merupakan hal yang fundamental untuk perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional masyarakat adat.
“Memang benar bahwa saat ini telah banyak peraturan perundangan-perundangan yang mengatur keberadaan masyarakat adat, tetapi keberadaan peraturan perundang-undangan yang sektoral tersebut justru mengakibatkan masyarakat adat kesulitan untuk mendapatkan hak-hak tradisionalnya, karena dalam praktiknya UU tersebut saling tumpang-tindih dan menyandera pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat”, kata Rukka.
Hingga kini RUU tentang Masyarakat Adat terkatung-katung. Aturan itu tidak juga naik jadi UU meski telah digodok selama dua periode pemerintahan, era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono hingga Joko Widodo-Jusuf Kalla.
RUU Masyarakat Hukum Adat pertama kali masuk dalam Prolegnas DPR pada 2013, 2014 dan Prolegnas Prioritas 2019. Kehadiran UU Masyarakat Adat sangat penting untuk masyarakat dan pemerintah karena akan menjadi solusi untuk mengatasi persoalan-persoalan hak masyarakat adat, serta untuk menjawab berbagai tantangan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat.
Baca juga: KPA: Pertimbangkan hak masyarakat adat di RUU Pertanahan
Baca juga: Menteri LHK janji bantu selesaikan RUU masyarakat hukum adat
Baca juga: Menyiapkan dialog dengan Presiden di 20 tahun AMAN
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Siti Rahma Mary mengatakan peraturan Perundang-undangan terkait Masyarakat Adat yang sudah ada sekarang, posisinya tumpang tindih dan saling menyandera, dan belum mampu menjawab kebutuhan Masyarakat Adat bahkan menjadi penyebab utama pengabaian dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Maria Soemardjono mengatakan pengakuan masyarakat adat bukan syarat untuk menentukan eksistensi masyarakat adat beserta hak ulayatnya. Pengakuan Negara terhadap kesatuan masyarakat adat itu bersifat declaratoir, artinya menyatakan sesuatu yang sudah ada.
Upaya untuk menuntaskan pengakuan tersebut dapat dilakukan atas inisiatif masyarakat adat sendiri dan atau inisiatif Pemerintah Daerah. Untuk memastikan tentang subjek hak ulayat, ditempuh proses sosio-anthropologis yang berujung pada penetapan yang bersifat yuridis.
Deklarasi tentang masyarakat adat tertentu (subjek hak ulayat) dan objek hak ulayat (seluruh wilayah masyarakat adat disertai dengan letak, luas dan batas-batasnya) dituangkan dalam Keputusan Kepala Daerah yang dilampiri dengan peta wilayah masyarakat adat. Proses ini berlaku terhadap hak ulayat yang beraspek publik sekaligus privat.
Kepastian hukum terkait keberadaan objek hak ulayat dalam suatu wilayah masyarakat adat dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan apabila memungkinkan menggambarkan batas-batas serta mencatatnya dalam daftar tanah di Badan Pertanahan Nasional.
“Dengan kata lain, tidak diterbitkan sertifikat di atas hak ulayat yang kewenangannya beraspek publik sekaligus privat. Juga terhadap hak ulayat yang kewenangannya beraspek privat semata, tidak diperlukan suatu penetapan. Penuntasan administrasi diwujudkan dalam pengakuan berbentuk sertifikat tanah (milik) bersama.” kata Maria.
Baca juga: RUU Masyarakat Adat, nasibmu kini
Baca juga: Masyarakat adat menunggu kepastian hukum
Sejak lebih dari 20 tahun lalu masyarakat adat dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang bekerja dan memiliki kepedulian terhadap masyarakat adat telah melayangkan tuntutan yang yang dilakukan secara sporadis agar negara segera melakukan langkah-langkah pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat di Indonesia.
Pelindungan, Penghormatan dan Pemenuhan merupakan prinsip HAM yang kewajiban untuk melaksanakannya diletakkan pada negara. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang jelas menegaskan bahwa negara secara konstitusi mengakui keberadaan masyarakat adat dan hak tradisional yang melekat.
Sementara itu, anggota DPR dari Fraksi Partai Nasdem Sulaeman L Hamzah mengatakan partainya berkomitmen untuk terus mengawal dan memperjuangkan terbentuknya UU Masyarakat Hukum Adat sesegera mungkin.
Hal tersebut tercermin pada Daftar Judul Rancangan Undang-Undang Prolegnas Prioritas Tahun 2020 yang diusulkan oleh Fraksi Partai NasDem dimana RUU Masyarakat Hukum Adat masuk dalam daftar dengan nomor urut 2.
“Partai NasDem juga akan terus mengawal dan memperjuangkan proses legislasi RUU Masyarakat Hukum Adat yang sudah ditetapkan sebagai RUU yang masuk dalam Daftar Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2020 dengan nomor urut 33 berdasarkan Rapat Pengambilan Keputusan atas hasil Penyusunan Prolegnas RUU Tahun 2020-2024 dan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020 Badan Legislasi yang dilaksanakan pada tanggal 05 Desember 2019 untuk dapat segera dibahas," kata Sulaeman.
Pada program legislasi nasional tahun 2020, Fraksi Nasdem bersama Fraksi PKB dan PDIP sebagai pengusul dari RUU Masyarakat Adat.
Di sisi lain, anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI Dedi Mulyadi menilai pengelolaan hutan adat oleh masyarakat adat adalah sebuah keharusan karena dengan pelibatan masyarakat adat, negara tidak perlu menyiapkan gaji untuk petugas penjaga hutan yang pada praktiknya belum tentu efektif. Karena itu dia sepakat kalau UU yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat segera disahkan.*
Baca juga: YLBHI: Status DIM RUU Masyarakat Adat tidak jelas
Baca juga: HuMa: masyarakat adat masih jadi korban konflik SDA, agraria
Baca juga: Aman: RUU Masyarakat Adat langkah progresif selamatkan bangsa
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019