Masalah lingkungan yang dialami berbagai negara sebagai dampak rasa takut pada "hantu" ekonomi hijau menjadi pesan dari pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim tahunan PBB, Conference of Parties ke-25 (COP25) yang berlangsung di Madrid, Spanyol, pada 2-13 Desember 2019.
Ini yang baru saja terjadi. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo baru saja mengeluarkan data dua orang bernama Cristison Bambarehi (51) dan Rezky Bambarehi (8) yang meninggal akibat banjir lumpur yang menerjang Desa Bolapapu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada Kamis (12/12).
Hujan deras melanda Desa Bolapapu di Kecamatan Kulawi sejak Kamis petang hingga Jumat (13/12), pukul 06.00 WIB, membawa lumpur yang membuat 218 kepala keluarga atau 707 jiwa mengungsi.
Sehari sebelumnya, bencana banjir akibat tingginya intensitas hujan di Provinsi Riau juga menelan satu korban jiwa. Air menggenangi lima daerah di provinsi itu.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau Edwar Sanger di Pekanbaru mengatakan banjir terjadi di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul), Kampar, Kuantan Singingi (Kuansing), Pelalawan dan Rokan Hilir (Rohil), menggenangi ribuan rumah penduduk.
Seorang bocah berumur enam tahun meregang nyawa tenggelam di Dusun Pelanduk, Kelurahan Kota Lama, Kecamatan Kunto Darussalam, Kabupaten Rohul setelah terpeleset dan terbawa arus ketika bermain air banjir luapan sungai.
Belum lama masyarakat Riau bisa menghirup udara segar lagi setelah terkepung kabut asap kebakaran hutan dan lahan berbulan-bulan. Hilangnya kemampuan menyerap air lahan gambut setelah terbakar berulang kali membuat sejumlah daerah di provinsi Bumi Lancang Kuning itu mudah sekali tergenang banjir di saat musim hujan.
Namun saat kemarau datang, apalagi saat El Nino mulai menyapa, titik-titik api begitu cepat bermunculan bak cendawan di musim hujan. Di Sampit, Kalimantan Tengah, pada September lalu konsentrasi asap karhutla yang berbahaya bagi kesehatan, mengandung partikel yang lebih kecil dari 10 mikron (PM10) sempat mencapai level 918,92, jauh diambang batas aman 150.
Bank Dunia pun baru saja mengeluarkan angka kerugian disebabkan karhutla yang terjadi di delapan provinsi di Indonesia, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Papua selama periode Juni hingga Oktober 2019 yang mencapai 5,2 miliar Dolar AS atau sekitar Rp72,95 triliun.
Lead Economist World Bank Indonesia Frederico Gil Sander di Jakarta, Rabu (11/12), mengatakan total kerugian itu sama dengan 0,5 dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, yang diperkirakan tumbuh sebesar lima persen pada 2019.
Paris Agreement meleset
Mantan Ketua Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) Sir Robert Watson bersama timnya mengeluarkan laporan berjudul Kebenaran di balik Janji Iklim ( the Thruth Behind the Climate Pledge) hanya beberapa minggu sebelum pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim tahunan PBB, Conference of Parties ke-25 (COP25) yang berlangsung di Madrid, Spanyol, pada 2-13 Desember 2019.
Laporan yang mengambil berbagai hasil riset yang sudah dilakukan sebelumnya menyimpulkan bahwa bencana lingkungan dan ekonomi dari perubahan iklim yang disebabkan kegiatan manusia sudah ada di cakrawala.
Baca juga: Potensi penurunan emisi dari Perhutanan Sosial 34,6 persen target NDC
Analisis komitmen untuk mengurangi emisi antara 2020 dan 2030 menunjukkan bahwa 75 persen dari janji iklim sebagian atau secara keseluruhan, bahkan tidak cukup berkontribusi menurunkan 50 persen target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) global pada 2030. Bahkan prediksinya, target Nationally Determined Contributions (NDC) banyak negara tidak akan tercapai.
Laporan itu menyebutkan bahwa dari 184 janji iklim yang telah didaftarkan ke PBB tersebut, hanya 36 dianggap cukup (19 persen), selebihnya 12 janji iklim dianggap cukup sebagian (enam persen), delapan dianggap sebagian tidak mencukupi (10 persen) dan 128 tidak mencukupi (65 persen) untuk bisa menahan peningkatan suhu Bumi di bawah 1,5 derajat Celsius akhir abad ini.
Karena janji iklim bersifat sukarela, maka terdapat hambatan teknis, celah dan kondisi kebijakan yang terus menunda aksi global yang sangat menentukan untuk mengurangi emisi dan mengatasi perubahan iklim.
Rata-rata temperatur Bumi telah meningkat 1 derajat Celsius di atas level preindustrial dan dapat melewati batas kenaikan 1,5 derajat Celsius sesuai target Paris Agreement di 2030 jika akselerasi pemanasan global terus berlanjut seperti rating saat ini.
Baca juga: Menteri LHK upayakan kurangi penggunaan batubara
Kalaupun setiap negara yang meratifikasi Paris Agreement mengimplemtasikan target NDC yang sudah mereka setorkan ke PBB tercapai, hanya mampu menekan 50 persen peningkatan suhu Bumi 1,5 derajat Celsius di 2030. Bayangkan apa yang terjadi jika janji tersebut hanya di atas kertas saja?
Emisi GRK global telah meningkat 20 persen di dekade terakhir, dari 44.7 gigaton gabungan seluruh emisi GRK atau ekuivalen Karbon dioksida (GtCO2-eq) di 2010 menjadi 53.5 GtCO2-eq di 2017. Jika semua target NDC dipenuhi emisi GRK global diproyeksikan rata-rata 54 (50-58) GtCO2-eq di 2030.
Sir Robert Watson beserta timnya merekomendasikan untuk dapat tetap berada di bawah 1,5 derajat Celsius maka rata-rata emisi GRK harus ada di angka 27 (25-30) GtCO2-eq di 2030. Itu artinya, aksi iklim global untuk memotong semua emisi hingga dekade berikutnya harus setidaknya dilipatgandakan atau ditingkatkan tiga kali lipat, lalu ditingkatkan lagi lima kali lipat untuk mencapai nol emisi bersih pada 2050.
“Hantu” ekonomi hijau
Kombinasi emisi dari empat top negara pengemisi terbesar mencapai 56 persen emisi GRK global. Emisi China menempati urutan pertama dunia mencapai 26,8 persen, Amerika Serikat ada di posisi dua mencapai 13,1 persen, Uni Eropa yang merupakan gabungan 28 negara anggota mencapai sembilan persen, sedangkan India mencapai tujuh persen.
China menargetkan penurunan 60-65 persen emisinya pada 2030 dari yang dihasilkan sejak 2005. Sementara produksi CO2 negara itu meningkat 80 persen dari 2004-2018, dan berlanjut meningkat di dekade berikutnya mengikuti proyeksi pertumbuhan ekonominya.
Baca juga: Penerapan industri hijau hemat energi Rp1,8 triliun
AS berkomitmen mengurangi emisi GRK antara 26-28 persen di 2025 yang dihasilkan sejak periode 2005. Namun, semenjak Pemerintah AS mengumumkan menarik diri dari Paris Agreement, kini tinggal pemerintah bagian dan masyarakat AS yang berupaya memenuhi janji iklim mereka, dengan mengurangi emisi kendaraan dan listrik.
Sedangkan Uni Eropa dan 28 negara anggota berkomitmen mengurangi emisi GRK setidaknya 40 persen dari level 1990 pada 2030. Mereka “on track” untuk memotong emisi 58 persen pada 2030.
Sementara emisi India naik dengan cepat, namun ditargetkan mampu ditekan intensitasnya 30-35 persen berdasarkan level emisi PDB 2005 pada 2030 nanti. Namun demikian, emisi GRK India meningkat 76 persen antara 2005 hingga 2017, dan seperti China kondisinya diperkirakan akan terus naik hingga 2030 karena mengejar pertumbuhan ekonomi.
Watson dan timnya membuat peringkat janji iklim dan membaginya menjadi empat kriteria, yakni mencukupi (sufficient), sebagian mencukupi (partially sufficient), sebagain tidak mencukupi (partially insufficient), tidak mencukupi (insufficient) target penurunan emisi GRK di 2030. Hasilnya hanya 25 persen dari 184 NDC yang mencukupi setidaknya 50 persen target penurunan emisi di 2030, sedangkan 75 persen lainnya tidak mencukupi.
NDC dari China, AS dan India masuk dalam kategori tidak mencukupi untuk target penurunan emisi 2030, bersama Indonesia dan 124 negara lainnya. Watson dan tim penelitinya dalam laporannya menyebut, Indonesia selaku pengemisi ke delapan terbesar di dunia termasuk dalam 13 negara yang target janji iklimnya menggunakan bisnis seperti biasa (business as usual/BAU).
Jika tidak ada tindakan atau kebijakan yang diterapkan maka janji-janji iklim mereka hanya didasarkan pada proyeksi pengurangan emisi di bawah target penurunan emisi GRK global pada 2030. Dengan demikian, sebagian besar komitmen tersebut sama saja jumlahnya dengan peningkatan emisi pada 2030.
Sebagai contoh, Indonesia yang berjanji dengan tanpa syarat mengurangi emisi GRK sebesar 29 persen di bawah bisnis seperti biasa (BAU) pada 2030, dan tambahan 12 persen dengan syarat mendapat bantuan dari luar negeri. Dengan menggunakan proyeksi business as usual tersebut untuk 2030 dan tingkat emisi GRK terbaru yang dilaporkan, janji iklim Indonesia tersebut sama dengan peningkatan emisi GRK sebesar 40 persen di atas level 2016 pada 2030 nanti.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menegaskan upaya dunia, sekalipun target Paris Agreement yang disepakati di 2015 dan diratifikasi 184 negara terpenuhi, belum cukup untuk menahan peningkatan suhu Bumi di bawah 1,5 derajat Celsius.
Jika target penurunan emisi yang tercantum NDC terpenuhi, Gutteres mengatakan suhu Bumi akan naik 3,6 hingga 3,9 derajat Celsius di akhir abad ini.
Gutteres mengaku kecewa dengan hasil COP25. Komunitas internasional telah kehilangan kesempatan penting untuk menunjukkan peningkatan ambisinya pada mitigasi, adaptasi dan keuangan untuk mengatasi krisis iklim.
Sektor swasta dan finansial perlu ikut bergerak untuk mencapai target bersih nol emisi di 2030. Uni Eropa akan menghentikan pendanaan energi fosil pada 2021, seharusnya negara-negara G20 memiliki komitmen sama karena setidaknya memproduksi dua per tiga emisi global.
“Lakukan lebih ambisius. Ekonomi hijau tidak untuk ditakuti,” kata Gutteres.
Bak “hantu” yang membuat ketakutan banyak negara, rasa takut terhadap ekonomi hijau itu justru membuat frustasi karena membuat pencapaian target penurunan emisi GRK global bergerak sangat lambat. Konsekuensinya, kerugian jiwa hingga materi harus menjadi kenyataan pahit yang dihadapi, karena bencana-bencana hidrometeorologi semakin mengancam di tengah semakin buruknya daya dukung daya tampung lingkungan.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019