• Beranda
  • Berita
  • Pancasila dan bela negara upaya mengatasi perdagangan manusia

Pancasila dan bela negara upaya mengatasi perdagangan manusia

20 Desember 2019 17:08 WIB
Pancasila dan bela negara upaya mengatasi perdagangan manusia
Direktur Eksekutif Generasi Optimis Research and Consulting (GORC) Tigor Mulo Horas Sinaga mengatakan, masalah human trafficking di tanah air sudah masuk kategori serius (ANTARA/Istimewa)

Pada tahun 2018 saja, sesuai catatan KPAI ada 329 korban perdagangan anak,

Tak ubahnya banyak negara di dunia, masalah perdagangan manusia (human trafficking) di Indonesia sudah mulai masuk ke dalam taraf yang mengkhawatirkan.

Banyak kasus serupa berulang namun belum ada hukuman konkret yang mendatangkan efek jera bagi para pelakunya. Isu itu menjadi kian kekinian dalam konteks Indonesia yang sedang membumikan Pancasila terlebih di saat-saat Hari Bela Negara yang diperingati setiap 19 Desember 2019.

Direktur Eksekutif Generasi Optimis Research and Consulting (GORC) Tigor Mulo Horas Sinaga mengatakan, masalah human trafficking di Tanah Air sudah masuk kategori serius sehingga mutlak segera ditangani lebih serius oleh Pemerintah. Terlebih, di era serba mudah mengakses informasi melalui internet saat ini, kesempatan bagi pada pelaku dalam melakukan perdagangan manusia kian terbuka.

“Pada tahun 2018 saja, sesuai catatan KPAI ada 329 korban perdagangan anak,” katanya.

Dari jumlah itu, 65 kasus di antaranya merupakan korban perdagangan manusia, 93 korban prostitusi, 80 kasus kekerasan seksual, dan 91 kasus eksploitasi pekerja. Hingga pertengahan 2019, KPAI menerima aduan 15 kasus, sebanyak lima kasus di antaranya korban trafficking, satu korban prostitusi, lima korban kekerasan seksual, dan empat korban eksploitasi pekerja anak.

Ia menjelaskan, banyak korban human trafficking berawal dari perkenalan via media daring atau siber, seperti Facebook atau Twitter. Horas menyebut lima provinsi dengan tingkat korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terbanyak, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.

Horas memaparkan modus perdagangan yang sering dilakukan adalah melalui pengiriman buruh migran perempuan, pengiriman Pembantu Rumah Tangga (PRT) domestik, eksploitasi seksual, perbudakan, pengantin pesanan, pekerja anak, pengambilan organ tubuh, adopsi anak, dan penghambaan. Lalu bisa juga dengan alibi sebagai duta seni, budaya, dan bahasa, serta kerja paksa hingga penculikan anak atau remaja.

“Para pelaku ini predator, mereka buas. Dalam menjebak mangsa-mangsanya, para pelaku biasanya cukup sabar dan telaten. Bisa sampai enam bulan mereka menjalankan operasi menjebak korbannya. Mulai dari kenalan, pendekatan, mengakrabkan diri, pura-pura jadi tempat curhat, sampai bisa memahami ritme hidup calon korbannya. Mereka ini berdarah dingin. Masyarakat hendaknya ekstra hati-hati, terutama bagi para remaja putri yang ingin mencari kerja di luar negeri,” kata Horas.

Baca juga: BPIP sosialisasikan Pancasila kepada siswa SMA

Pembumian Pancasila

Horas menyerukan pentingnya semua pihak untuk kembali kepada Pancasila dan menggunakan momentum Hari Bela Negara untuk mengatasi persoalan perdagangan manusia.

“Saya menyerukan kepada Pemerintah agar membela nasib dan martabat anak-anak bangsa yang dilecehkan lalu menjadi korban perdagangan manusia. Ibu pertiwi menangis karena duka mendalam melihat anak-anak kandungnya diperjual-belikan dan dieksploitasi untuk kepentingan segelintir orang. Negara wajib membela warganya yang menjadi korban. Negara wajib memberantas sindikat atau mafia perdagangan manusia ini,” kata Horas keras.

Sila kedua dari Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menurut Horas, sudah menjadi dasar dan motivasi paling kuat bagi Pemerintah untuk menindak tegas semua pihak yang terlibat praktik perdagangan manusia.

Ia menjelaskan, Indonesia merupakan negara yang menjadi negara asal perdagangan orang ke luar negeri dengan tujuan Malaysia, Singapura, Brunei, Taiwan, Jepang, Hongkong, dan Timur Tengah.

Untuk itu, pihaknya berharap Pemerintah termasuk Polri melibatkan lembaga-lembaga swadaya masyarakat agar bisa turut membantu menggencarkan kampanye anti-perdangangan manusia. Di samping itu juga perlunya sosialisasi pada masyarakat agar terhindar dari kejahatan perdagangan manusia.

“Tantangan mengatasi perdagangan manusia ini hanya bisa berhasil dengan karya sinergi Pemerintah bersama elemen-elemen masyarakat. Ini masalah yang tak mudah, tapi bukan berarti itu mustahil. Kita sebagai bangsa yang beradab wajib menolong para korban perdagangan manusia dan menghentikan praktik kejahatan human trafficking itu,” kata Horas.

Pemerhati politik dan intelijen itu mengaku prihatin jika angka korban perdagangan manusia masih tinggi seperti yang dilaporkan KPAI.

Jika angka korban itu masih tinggi, maka Horas menilai ada yang keliru dalam pembumian nilai-nilai Pancasila di republik ini. Oleh sebab itu, Horas mendorong BPIP untuk membentuk satuan tugas khusus untuk mengantisipasi praktik kejahatan perdagangan manusia.

Horas mengatakan, kuncinya adalah pendidikan moral Pancasila. Penanaman moral Pancasila penting sangat penting, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kebajikan dan etika yang luhur, sehingga orang tidak mudah tergiur dengan bujukan-bujukan yang mengarah pada perdagangan manusia.

“Seseorang bisa menjadi korban juga karena kurangnya pengetahuan sehingga mudah dibodohi,” katanya.

Ia mendorong BPIP untuk memperhatikan situasi ini secara khusus dan berharap BPIP segera bersinergi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam memaksimalkan penanaman nilai-nilai Pancasila.

“Sebab di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai etika yang bisa mendorong moral manusia Indonesia menjadi lebih bajik dan utuh,” kata Horas.

Baca juga: Intoleransi di masyarakat, BPIP: Mari kembali ke akal sehat

Semakin Darurat

Sementara itu, Mantan Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Mangasi Sihombing mengatakan, dalam laporan tahunan Departemen Luar Negeri AS tentang Perdagangan Orang tahun 2011, Indonesia masuk lapis kedua dalam standar perlindungan korban perdagangan orang (TPPO).

Negeri ini, menurutnya, dinilai termasuk sumber utama perdagangan perempuan, anak-anak, dan laki-laki, baik sebagai budak seks maupun korban kerja paksa.

Menurut laporan, sekitar enam juta warga Indonesia menjadi pekerja migran di luar negeri, termasuk 2,6 juta di Malaysia dan 1,8 juta di Timur Tengah. Dari keseluruhan pekerja migran itu, 4,3 juta di antaranya berdokumen resmi dan 1,7 juta lainnya digolongkan pekerja tanpa dokumen. Sekitar 69 persen pekerja migran Indonesia perempuan.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) memperkirakan 20 persen TKI yang bekerja di luar negeri jadi korban perdagangan manusia.

Saat ini ada 6,5 juta-9 juta TKI bekerja di luar negeri. Berdasarkan data Organisasi Migrasi Internasional, 70 persen modus perdagangan manusia di Indonesia berawal dari pengiriman TKI secara ilegal ke luar negeri.

Indonesia juga menjadi negara tujuan perdagangan orang yang berasal dari China, Thailand, Hongkong, Uzbekistan, Belanda, Polandia, Venezuela, Spanyol, dan Ukraina dengan tujuan eksploitasi seksual.

“Eksploitasi meliputi setidak-tidaknya pelacuran atau eksploitasi prostitusi orang lain, atau tindakan lain seperti kerja atau layanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, perhambaan, atau pengambilan organ tubuh,” kata Mangasi.

Mangasi menyebut, Indonesia berada di urutan kedua kejahatan perdagangan manusia yang melibatkan kekerasan maupun eksploitasi seksual terhadap anak-anak pada 2012.

“Kalau menurut PBB, Indonesia masuk wilayah tujuan, transit dan negara asal untuk perdagangan manusia,” katanya.

Penyebab utama maraknya praktik ini kata dia, sebagian besar karena kemiskinan, kesulitan hidup, tak tersedianya lapangan kerja, tingkat pendidikan yang rendah, tingkat keamanan yang rendah, dan belum maksimalnya peran Pemerintah sehingga peluang-peluang itu diambil oknum-oknum tak bertanggung jawab.

Mantan Duta Besar Indonesia di negara-negara Eropa Timur itu juga mengatakan, efek bahaya dari perdagangan manusia khususnya pada eksploitasi seksual bisa menimbulkan malapetaka penularan penyakit mematikan yang sulit di kontrol misalnya HIV/AIDS.

“Ini juga berpotensi menimbulkan efek-efek perubahan nilai sosial yang menggoyang sendi budaya masyarakat sehingga akan menyebabkan kepunahan pada jangka panjang,” katanya.

Untuk itu, ia berharap seluruh komponen masyarakat bersama dengan seluruh komponen negara harus bahu-membahu untuk mencegah dan menghentikan perdagangan manusia dalam bentuk apapun.

“Dan itu senyatanya adalah aksi bela negara yang sebenarnya,” kata Mangasi.

Baca juga: Bupati Jember: SDM tidak boleh kehilangan ideologi Pancasila

 

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019