"Menurut saya, sejak pemilu pertama di era Orde Lama tahun 1955 dan pemilu pada masa Orde Baru dan Orde Reformasi, kita selalu melakukan tambal sulam sistem proporsional dari pemilu ke pemilu, sementara kita belum pernah mencoba sistem baru semisal sistem distrik," kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Kamis.
Baca juga: Rencana pemilu proporsional tertutup, Wapres: Perlu kajian mendalam
Baca juga: Perludem gugat sistem pemilu serentak lima kotak ke MK
Dia mengemukakan pandangan itu, terkait wacana untuk mengembalikan sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional tertutup di dalam Pemilu Indonesia.
Ahmad Atang mengatakan, setiap sistem yang diadopsi dan dipraktikan tidak akan pernah sempurna sepanjang masa, baik dalam sistem sosial, ekonomi, hukum dan politik.
"Setiap pilihan sistem selalu ada kelebihan dan kekurangan, namun yang terpenting adalah sebuah masyarakat harus ada sistem yang menjadi pilihan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara," katanya.
Karena itu, ketika PDIP merekomendasi perubahan sistem pemilu menurut dia bukan sesuatu yang mengagetkan.
Alasannya karena sistemnya tetap tapi hanya perlu tambal dan disulam ulang terhadap sistem yang sudah ada.
Dia menambahkan, perdebatan soal apakah pemilu dengan sistem proporsional tertutup atau terbuka terletak pada hak individu dan hak institusi.
Praktik proporsional tertutup memberikan hak demokrasi kepada individu caleg, karena pendekatannya adalah suara terbanyak bukan nomor urut, maka hasil pemilu merupakan garis lurus dengan perolehan suara caleg.
Pada titik ini, partai tidak memiliki hak untuk mengubah perolehan suara dan juga mengganti caleg, kata mantan Pembantu Rektor I UMK itu.
Baca juga: Pengamat: Jangan kembali ke sistem pemilu yang buruk
Baca juga: Pemilu 2019 dan penguatan sistem demokrasi
Baca juga: Ahli: Terdapat inkonsistensi dalam sistem pemilu serentak RI
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020