Pengamat politik dari Jambi, Mochammad Farisi, memberikan peringatan kepada bakal calon wakil kepala daerah yang akan maju mendampingi calon kepala daerah pada Pilkada serentak tahun 2020 di Provinsi Jambi, Jum’at.
Secara strategi politik, kata dia, calon wakil kepala daerah biasanya berfungsi melengkapi atau menutupi kekurangan calon kepala daerah.
Seumpama mereka bukan berasal dari wilayah yang sama, etnis berbeda, dan lain-lain, untuk memperluas basis dukungan bagi politik calon kepala daerah. Pada tinjauan ini kesamaan ideologi dan visi misi biasanya menjadi tidak penting.
Baca juga: Pastikan netralitas ASN di Pilkada, Bawaslu koordinasi Kemendagri
Tidak kuatnya hubungan emosional, kedekatan ideologi dan kesamaan visi misi dalam membangun inilah yang membuat mudah retaknya hubungan kepala daerah dengan wakil kepala daerah.
Bahkan tidak perlu menunggu sampai dua atau tiga tahun masa kepemimpinan, baru beberapa bulan setelah pelantikan, terkadang sudah terlihat bibit-bibit perceraian, biasanya akibat tidak sepaham dalam menempatkan orang-orang yang akan menduduki jabatan di organisasi perangkat daerah.
“Perlu diingat bagi para calon wakil kepala daerah, sampai saat ini perangkat hukum yang mengatur masalah pemerintahan daerah masih memposisikan jabatan wakil kepala daerah hanya sebatas “ban serep” atau pelengkap bagi kepala daerah,” kata Farisi.
Baca juga: Kunjungi Mendagri, Menkopolhukam bahas soal seputar pilkada
Tugas wakil kepala daerah hanya sebatas membantu kepala daerah dalam pelaksanaan tugasnya. Tugas dan wewenang wakil kepala daerah di atur dalam Pasal 66 UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasca dilantik wakil kepala daerah hanya sebagai pembantu kepala daerah, tidak memiliki kewenangan tetap dan hanya bertugas membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah.
Baca juga: Penataan regulasi pilkada diminta akurat
Wakil kepala daerah baru mempunyai kewenangan yang setara dengan kepala daerah apabila kepala daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara.
Jika calon wakil kepala daerah tidak memahami tugas dan wewenangnya, atau tidak ada kesepakatan diawal maka akan menimbulkan ketidakharmonisan.
Apabila roda pemerintahan tidak berjalan seimbang maka akan menjadi pemantik kecemburuan dan menimbulkan aroma persaingan, gesekan, rebutan pengaruh dan rivalitas yang berujung pada konflik yang pada akhirnya masing-masing mencalonkan diri sebagai kepala daerah pada Pilkada berikutnya.
Disharmoniasi itu sangat merusak tujuan pemerintahan, akibatnya kinerja pemda terganggu, ASN kebingungan karena dua pimpinan mereka saling berebut pengaruh.
Pewarta: Muhammad Hanapi
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020