Perkiraannya benar bahwa kabar yang diterimanya adalah terendamnya Komplek Perumahan Pondok Gede Permai (PGP). Dia menyatakan kasihan kepada teman dan tetangganya di komplek yang dihuni sekitar 1.500 Kepala Keluarga (KK) itu.
Tetapi, dia tidak bisa berbuat banyak kecuali hanya menghubungi teman dan tetangganya yang masih dia ingat. Edy sudah beberapa tahun tidak lagi tinggal di perumahan ini.
Rumahnya berlantai dua di Blok C PGP dia jual karena tidak tahan tinggal di sini akibat sering dilanda banjir. Banjir dirasakannya sangat berat, apalagi makin tahun air makin tinggi.
Baca juga: Bekasi fokus tangani dua lokasi banjir
Baca juga: Menanti berakhirnya nestapa berkepanjangan
Itulah yang mendasarinya menjual rumah lalu pulang kampung dan membangun rumah di kampung halaman. Setelah pembangunan rumahnya selesai, ternyata masih ada sisa uang dari hasil penjualan rumahnya di PGP.
Uang sisanya itu kemudian dibelikan lahan untuk kebun lada. Hidup di kampung dirasakannya lebih nyaman dan yang pasti tidak banjir.
Kisah Edy hanya satu bagian dari pilihan yang dimiliki warga di PGP. Ada yang sama dengan dia, ada yang memilih mengontrakkan rumahnya lalu tinggal di tempat lain dan ada pula yang tetap bertahan.
Orang-orang yang bertahan itulah yang masih harus menghadapi permasalahan banjir hingga kini. Musibah banjir besar pada 1 Januari 2020 adalah kenyataan paling berat yang harus dihadapi selama mereka tinggal di PGP.
Sejumlah warga mengemukakan banjir awal tahun ini merupakan yang terparah. Tinggi muka air luapan Sungai Cikeas dan Cileungsi yang merangsek ke perumahan ini mencapai lima meter.
Baca juga: Enam rumah PGP Bekasi hancur diterjang banjir
Ketinggian itu menyentuh hingga sebetis di lantai dua. Padahal tidak semua rumah di sini berlantai dua sehingga logis atau masuk akal kalau ada yang bilang ketinggian saat banjir baru-baru ini mencapai lima meter. Relokasi
Lalu mengapa banyak warga yang tetap bertahan meski sering dilanda banjir? Lantas apa pula langkah yang diambil pemerintah menyikapi parahnya banjir di PGP?
Secara kasat mata, penanganan musibah banjir telah menjadi pekerjaan utama seluruh jajaran pemerintah kota setempat. Kesibukan luar biasa dirasakan seluruh jajaran pemerintah kota, dari evakuasi warga, pembukaan posko kesehatan dan dapur umum hingga penyiapan lokasi pengungsian warga.
Sebagai daerah rawan banjir, perhatian pemerintah pusat terlihat dari dibangunnya Gedung Logistik dan Peralatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang lokasinya di dataran lebih tinggi dari PGP. Dalam kondisi darurat, gedung menjulang tinggi ini juga menjadi tempat pengungsian warga terdampak banjir.
Dari segi kebijakan untuk jangka panjang dan komprehensif, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi telah mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo untuk merelokasi warga PGP. Usul itu disampaikannya dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta pada 8 Januari 2020.
Pertemuan itu khusus membahas masalah banjir di Jakarta dan beberapa daerah di sekitarnya, termasuk Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi. Salah satunya adalah usulan agar pemerintah pusat menyetujui relokasi warga PGP.
Perlunya dukungan dari pemerintah pusat dalam wacana relokasi karena Kota Bekasi tidak akan mampu melakukannya sendiri. Butuh biaya tidak sedikit untuk merelokasi 1.500 Kepala Keluarga (KK) yang sudah lebih 30 tahun mendiami PGP.
Wacana relokasi warga PGP sebenarnya sudah cukup lama mencuat. Pertama kali disampaikan pejabat Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bekasi pada 2013, lalu pada banjir 2014 yang disebakan tanggul kali jebol.
Saat itu banjir di PGP mencapai sekitar tiga meter. Warga waktu itu menganggap sebagai banjir terparah, namun banjir awal 2020 ternyata air lebih tinggi lagi.
Baca juga: Walkot Bekasi pertimbangkan relokasi perumahan PGP pascabanjir
Menyikapi tingginya banjir tahun 2013, maka DLH mengusulkan dilakukan relokasi. Rahmat Effendi kemudian menyampaikan wacana itu menyikapi banjir di PGP tahun 2016 dan pada banjir 2020, menyampaikannya kepada Presiden Jokowi.
Wacana relokasi yang disampaikannya pada 2016 tidak berlanjut gaungnya karena banyak warga PGP menolak. Warga justru ingin bertahan tetapi meminta agar tanggul Kali Cikeas dan Cileungsi diperkuat.
Tanggul yang berbatasan langsung dengan PGP itu telah beberapa kali jebol. Kalau jebol, bisa dibayangkan ketinggian air di perumahan yang dibangun tahun 1988 yang sebelumnya berupa lahan sawah dan rawa-rawa itu.
Rawan Banjir
Dengan posisinya yang berada di bantaran kali, PGP dan juga lokasi dimana pun rawan banjir akibat air meluap atau karena tanggul jebol. Warga yang mulai tinggal di sini sejak awal dekade 1990-an mungkin sudah merasakan banjir sebagai hal biasa karena sering terjadi.
Namun, solusi dari wali kota berupa relokasi ke tempat lain belum membuahkan hasil. Mungkin karena warga sudah mapan di lokasi itu dan terbiasa dengan banjir atau alasan lainnya, misalnya, belum jelasnya lokasi permukiman baru atau terkait nilai ganti ruginya.
Baca juga: Mayoritas korban banjir PGP Bekasi menolak dievakuasi
Baca juga: Banjir di Jatiasih surut, mobil bertumpukan di jalan masuk perumahan
Kendaraan roda empat bertumpuk terseret banjir
Dalam bahasa sederhana, tandon yang terkait lokasi cukup luas mungkin semacam waduk yang berfungsi sebagai penampungan air, resapan dan cadangan air. Dalam situasi normal, airnya bisa untuk pengairan, pembangkit listrik atau diolah.
Tetapi relokasi tampaknya hanya salah satu opsi untuk mengakhiri banjir rutin di perumahan ini. Opsi lainnya yang dicuatkan Pemerintah Kota Bekasi adalah memperkuat tanggul, baik memperbesar disertai peninggian sehingga kekuatan dan kalinya akan menyerupai Banjir Kanal Timur (BKT) atau Banjir Kanal Barat (BKB).
Entah opsi mana yang akan dilakukan.
Baca juga: Banjir rendam ribuan rumah warga PGP Bekasi
Pewarta: Sri Muryono
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020