Ada ide menarik yang dilontarkan Guru Besar Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof Dr Moestopo Jakarta, Prof Dr Radjab Ritonga pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2020 di Banjarmasin, Kaimantan Selatan, 6-9 Februari.Menulis buku itu adalah mahkota wartawan
Ide yang dicuatkan di sela-sela peluncuran sekaligus bedah buku berjudul "Polima: Gema Pancasila dari Baubau" itu, kemudian memantik elaborasi lanjutan karena pada dasarnya dalam jagat dunia kewartawanan, menulis sebenarnya keniscayaan sehari-hari.
Buku "Polima: Gema Pancasila dari Baubau" yang substansinya berasal dari disertasi akademik Wali Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Sultra) Dr AS Tamrin itu, kemudian ditulis menjadi buku umum oleh AS Tamrin bersama tiga wartawan, yakni Andi Jauhari dan Rahmat Nasution dari LKBN ANTARA dan Ardi Bramantyo, penulis dan mantan wartawan Tempo.
Peluncuran dan bedah buku yang sarat akan nilai-nilai budaya Buton itu, menjadi salah satu rangkaian peringatan HPN 2020, yang dihadiri ratusan peserta.
Peserta terdiri atas pengurus PWI Pusat, wartawan senior, tokoh adat dan budaya, akademisi, peneliti, dan puluhan wartawan yang sedang mengikuti HPN 2020.
Di depan tiga Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), yakni mantan Rektor IPDN Prof Dr Ermaya Suradinata, Direktur Pasacasarjana IPDN Prof Khassan Effendy, dan Dr Sampara Lukman, MA, --pakar Ilmu Pemerintahan IPDN-- yang membahas substansi buku tersebut, Radjab Ritonga saat diminta tanggapan atas buku tersebut, kemudian mengutip pernyataan pendiri Harian Kompas Jacob Oetama.
Kutipan yang dinukil Radjab Ritonga --yang juga Direktur Uji Kompetensi Wartawan PWI Pusat itu-- yakni "wartawan boleh hebat, tapi kalau belum menulis buku belum hebat".
"Menulis buku itu adalah mahkota wartawan," kata Radjab mengutip Jakob Oetama.
Dalam berbagai catatan yang dirujuk, pernyataan Jakob Oetama itu umumnya berbunyi: "Mahkota seorang wartawan adalah jika ia mampu menulis buku".
Tak ingin
Menurut Wali Kota Baubau AS Tamrin --yang disertasinya meraih nilai "cumlaude" d IPDN Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat pada 2016-- dalam kapasitasnya sebagai kepala daerah dan jabatan di luar pemerintahan lainnya --secara pribadi ia tidak terlalu berkeinginan menjadikannya sebagai buku "ilmiah populer" yang baru diluncurkan pada HPN 2020 itu.
"Karena banyak disemangati agar nilai-nilai budaya lama Buton yang adiluhung 500 tahun lalu itu, bisa diketahui generasi masa kini, maka akhirnya ide menjadikan buku lahir, dibantu kawan-kawan jurnalis," kata AS Tamrin, yang pada HPN 2020 meraih penghargaan "Anugerah Kebudayaan" dari PWI Pusat yang juga dihadiri Presiden Joko Widodo pada Sabtu (8/2).
Ia menjelaskan bahwa jika karya penelitiannya tersebut hanya di level akademik, yang khas dengan bahasa ilmiah, maka tidak bisa diakses dan diketahui publik luas.
Akhirnya ide menjadikan karya disertasi itu di-"rewrite" seiring waktu, dengan diskusi-diskusi akhirya disepakati hingga kemudian menjadi buku tersebut.
Kini, masyarakat luas jadi lebih mudah untuk mengetahui nilai-nilai budaya, filsafat, pandangan hidup yang sudah hidup ratusan tahun silam di Kesultanan Buton.
Rapat koordinasi
Radjab Ritonga yang pada HPN 2020 di Banjarmasin juga menjabat Kordinator Panitia Bidang Penerbitan Buku HPN 2020 itu, menjelaskan bahwa sejak Oktober 2019 telah dilakukan rapat koordinasi.
Pada rapat Selasa (8/10/2019), panitia bidang penerbitan buku kemudian memutuskan mengenai sejumlah kriteria Buku HPN 2020 yang akan diterbitkan.
Di antara kriterianya itu, sejarah Kalimantan Selatan sebagai tuan rumah HPN 2020, perkembabangan pers dan wisata di Kalimantan Selatan, puisi/cerpen/kumpulan cerpen, kisah-kisah wartawan dalam melakukan liputan, masa depan media cetak versus media digital.
Selain itu, hasil-hasil penelitian terkait dengan media massa, sosok inspiratif wartawan Indonesia, kompetensi wartawan yang berisi suka duka uji kompetensi wartawan (UKW) bagi peserta dan penguji), jurnalisme versus "buzzer" media sosial, dan kebudayaan dalam arti luas.
"Penulisan buku karya wartawan ini diharapkan akan bisa menjadi tradisi di setiap HPN," katanya.
Baca juga: Usung Polima di pemerintahan, AS Tamrin raih Anugerah Kebudayaan
Ia menyarankan wartawan bisa menulis karya berupa buku sepanjang karirnya menjalani pekerjaannya itu.
Tentu saja, dengan menulis buku, sesuai yang diminatinya bisa memberikan nilai tambah sekaligus bisa menjadi kebanggaan.
Dengan demikian wartawan generasi yang akan datang bisa mengetahui pengalaman dan wawasan yang ditulis tersebut.
Tentang topik yang ditulis, bisa beragam mulai dari yang berkaitan dengan jurnalistik maupun yang nonjunalsitik, seperti pengalaman meliput peristiwa yang berdampak besar dan berkaitan dengan kebudayaan serta kekayaan daerah.
Dalam kaitan itu, PWI akan mendukungnya dalam wujud fasilitas diedit tim PWI dan masuk dalam acara bedah buku HPN setiap tahun.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) saat mendefinisikan kata "mahkota" ada enam pengertian, dan di antaranya gelar orang besar dan yang dihargai atau yang dijunjung tinggi.
Bagi kalangan wartawan atau jurnalis, kesempatan untuk meraih "mahkota" itu kini kian terbuka, dan ajang seperti HPN adalah wadah yang bisa untuk mewujudkannya.
Baca juga: Enam karya jurnalistik terbaik raih Adinegoro di HPN 2020
Baca juga: Buku nilai moral masyarakat Buton "Polima" dibedah pada HPN 2020
Baca juga: PWI tetapkan Wali Kota Baubau penerima Anugerah Kebudayaan
Pewarta: Andi Jauhary
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020