Bersama sembilan kepala daerah lainnya, AS Tamrin menerima penghargaan yang merupakan kerja sama yang jadi kerja kolaboratif antara Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat dengan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI).
Kepala daerah lainnya adalah Wali Kota Banjarmasin (Kalimantan Selatan) Ibnu Sina, Bupati Serdang Bedagai (Sumatera Utara) Soekirman, Bupati Halmahera Barat (Maluku Utara) Danny Missy, Wali Kota Ambon (Maluku) Richard Louhenapessy, Bupati Tulang Bawang Barat (Lampung) Umar Ahmad, dan Bupati Tabalong (Kalimantan Selatan) Anang Syakhfiani.
Kemudian, tiga kepala daerah perempuan yakni Wali Kota Tangerang Selatan (Banten) Airin Rachmi Diany, Bupati Gunungkidul (Daerah Istimewa Yogyakarta) Hj Badingah dan Bupati Luwu Utara (Sulsel) Indah Putri Adriani.
Usai menerima penghargaan itu, ia menyatakan bahwa Polima yang diterapkan pada pemerintahan daerah itu adalah buah dari kerja bersama dari seluruh unsur, baik di pemerintah dan juga dukungan masyarakat.
AS Tamrin mengusung Polima sebagai upaya membumikan filsafat Sara Pataanguna --yang diimplementasikan dalam pemerintahan di Kota Baubau yang dipimpinnya selama dua periode, yakni pertama 2013-2018 dan dilanjutkan pada masa bakti 2028-2023.
Ia menjelaskan Sara Pataanguna adalah warisan nilai luhur universal dan unik yang telah dirumuskan oleh para leluhur (founding father) dalam kitab konstitusi "UUD Martabat Tujuh" di Kesultanan Buton yang dilahirkan hampir 500 tahun silam.
Berdasarkan Sara Pataanguna itu, AS Tamrin kemudian menggalinya melalui studi doktoral (S3) di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat -yang kemudian diberinya nama Polima-- dan pada Desember 2016 ia meraih gelar doktor dari perguruan tinggi itu dengan hasil cum laude.
Secara prinsip, Polima atau PO5 adalah bentuk kearifan lokal falsafah Buton yang terdiri atas pomaamaasiaka (saling menyayangi), popiapiara (saling peduli/memelihara/mengayomi), poangkaangkataka (saling mengangkat derajat/menghargai), pomaemaeka (selalu merasa malu untuk berbuat negatif/tabu) , dan pobincibinciki kuli (tidak saling menyakiti antarmasyarakat).
AS Tamrin juga menjelaskan asbabun nuzul (asal usul) tentang Polima salah satunya berangkat dari keprihatinan akan sebagian perilaku sebagian pemimpin dan masyarakat, yakni tergerusnya moral dan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpinnya.
"Banyak pemimpin yang tidak layak lagi dijadikan teladan atau panutan," katanya.
Kemudian, maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan penyalahgunaan wewenang, bentrok antar pelajar dan mahasiswa, konflik di masyarakat, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan inflitrasi budaya luar.
"Dari kondisi-kondisi tersebut diperlukan penyadaran secara masif kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para pemimpin guna terwujudnya kedamaian, suasana kondusif dan stabilitas," katanya.
Karena itulah, melalui Polima, AS Tamrin mengimplementasikannya dengan kebijakan strategis pemajuan dan ketahanan kebudayaan di Kota Baubau.
Baca juga: Menkumham: Perlu strategi pembangunan hukum guna peningkatan investasi
Baca juga: Gubernur Kalsel jadi anggota kehormatan PWI Pusat
Baca juga: RSUD Ulin Banjarmasin gelar seminar kekerdilan dirangkaian hari HPN
Bedah buku
Usai menerima penghargaan tersebut, pada Sabtu petang, di arena HPN 2020 di Kota Banjarmasin, dilakukan bedah buku berjudul "Polima: Gema Pancasila dari Baubau" yang ditulis AS Tamrin bersama tiga jurnalis, yakni Andi Jauhari dan Rahmat Nasution dari LKBN ANTARA dan Ardi Bramantyo, penulis dan mantan wartawan TEMPO.
Dalam bedah buku itu, tiga pakar di IPDN yakni mantan Rektor IPDN Prof Dr Ermaya Suradinata, Direktur Pasacasarjana IPDN Prof Khassan Effendy dan Dr Sampara Lukman, MA, pakar Ilmu Pemerintahan IPDN membahas substansi buku tersebut.
Hadir dalam bedah buku itu ratusan peserta yang terdiri atas pengurus PWI Pusat Prof. Dr Radjab Ritonga, wartawan senior, tokoh adat dan budaya, akademisi, peneliti dan puluhan wartawan yang sedang mengikuti HPN 2020.
Ermaya Suradinata menyebutkan bahwa nilai-nilai universal budaya orang Buton itu digali dan ditemukan AS Tamrin dan kemudian kini diimplementasikan.
"Pak AS Tamrin menggali, menemukan dan kemudian memberi nama Polima. Inilah nilai-nilai dasar yang sesungguhnya. Kalau daerah lain di Indonesia bisa menemukan seperti ini, Indonesia bisa melejit lagi ke dunia, maka nilai-nilai semacam ini harus kita hidupkan lagi," kata mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) itu.
Tetapi, kata dia, jika dipelajari dalam buku itu --dengan rujukan Sarapatanguna-- mengandung nilai-nilai dasar yang bila didalami lagi dengan filsafat, itu bukan sekadar menjalankan Pancasila.
"Tapi menjalankan akidah, syariat dan juga akhlak atau moral yang dalam karakter manusia adalah apa yang ada dalam Al Quran," kata Ermaya.
Baca juga: Enam karya jurnalistik terbaik raih Adinegoro di HPN 2020
Baca juga: Dewan Pers ingatkan pers jangan tergelincir di persaingan ruang siber
Baca juga: Kadiv Humas Polri: Pers dan polisi bagai ikan dan air
Untuk Indonesia
Sedangkan Khassan Effendy menyebut bahwa penghargaan yang diterima itu bukan saja untuk AS Tamrin, namun itu adalah untuk masyarakat Buton dan bangsa Indonesia.
"Nilai-nilai lama itu direvitalisasi dalam menghadapi milenium revolusi 4.0, menggali lagi nilai-nilai lama untuk diaktualisasi," katanya.
Pembahas terakhir Sampara Lukman lebih melihat bahwa dalam kepemerintahan dibutuhkan proses kerja sama, dan Polima mengandung unsur saling menyayangi.
Dalam kehidupan pemerintahan, kata dia, bila tidak ada saling menyayangi pasti ada pilih kasih, dan juga ada unsur toleransi.
Ia mencontohkan kalau seorang pimpinan memberikan kebijakan A, namun staf atau anak buahnya menjalankan nilai C, maka tujuan pemerintahan tidak akan tercapai.
Mewakili Ketua PWI Pusat Atal S Depari, pengurus PWI Pusat Radjab Ritonga mengemukakan bahwa tradisi HPN adalah mendorong para wartawan untuk bisa menulis buku.
Radjab mengutip pendiri Harian Kompas Jacob Oetama yang menyatakan bahwa "wartawan boleh hebat, tapi kalau belum menulis buku belum hebat".
"Menulis buku itu adalah mahkota wartawan," katanya.*
Baca juga: HIPMI kerahkan pengusaha bangun Kalsel jadi gerbang Ibu Kota Negara
Baca juga: Presiden Jokowi dukung regulasi lindungi dunia pers nasional
Baca juga: Jokowi kapok jika tak hadir di acara HPN
Pewarta: Andi Jauhary
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020