Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional (RUU HPI) perlu segera disahkan agar dapat memperkuat diplomasi ekonomi yang saat ini menjadi salah satu prioritas politik luar negeri Indonesia.Permintaan Presiden Joko Widodo, supaya kita meningkatkan diplomasi ekonomi, dan salah satu poinnya adalah hukum perdata internasional karena investor, pedagang dari asing, melirik kepada sistem hukum kita di perdata internasional
Pernyataan itu menjadi topik utama yang dibahas dalam Sarasehan Jilid II bertajuk "Peningkatan Diplomasi Ekonomi melalui Pengembangan Hukum Perdata Internasional Indonesia" yang diselenggarakan Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta, Kamis.
"Permintaan Presiden Joko Widodo, supaya kita meningkatkan diplomasi ekonomi, dan salah satu poinnya adalah hukum perdata internasional karena investor, pedagang dari asing, melirik kepada sistem hukum kita di perdata internasional," kata Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu RI, Damos Dumoli Agusman, saat ditemui usai membuka acara sarasehan.
Sampai saat ini, Indonesia masih memakai aturan hukum peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk masalah keperdataan internasional, yaitu Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesische (AB).
Aturan yang berusia lebih dari satu abad itu, menurut Damos, kurang memadai untuk menjadi dasar hukum keperdataan internasional di Indonesia karena perkara yang dihadapi semakin kompleks, misalnya mengenai status nikah campur, adopsi, kontrak bisnis, serta penyelesaian sengketa di tengah era pasar bebas.
"Akan lebih bagus kalau UU (HPI) ini ada, karena sebagai negara hukum, kita harus ada basis konstitusional dan basis UU yang cukup, supaya tidak ada kekosongan di sana. Selama ini sudah ada praktik-praktik yang kita lakukan, tetapi belum ada basis legislasinya," jelas Damos.
Dalam Sarasehan Jilid II yang diadakan Kemlu RI hari ini, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi sekaligus Pakar Hukum Tata Negara Prof Jimly Asshidiqie mendukung pengesahan RUU Hukum Perdata Internasional.
Pasalnya jika disahkan, RUU HPI akan mengatur ulang peranan sistem peradilan dalam negeri saat berhadapan dengan hukum internasional atau sistem peradilan negara lain. "Dari hubungan itu, harus ada asas resiprokal (timbal balik), maka perlu kita membuat sendiri namanya UU Hukum Perdata Internasional," ujar Jimly.
RUU HPI pertama kali diusulkan pada 1980-an, tetapi pembahasannya sempat terhenti dan kembali berlanjut pada 2015. Pembahasan rancangan UU itu kembali tertunda, kemudian pada 2017 prosesnya kembali dilanjutkan sampai saat ini.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Tudiono, mengatakan perumusan dan penyusunan naskah akademik serta draf RUU HPI telah rampung. RUU HPI pun telah masuk program legislasi nasional (prolegnas) periode 2020-2024 Dewan Perwakilan Rakyat RI.
Walaupun demikian, Prof Jimly mengusulkan agar pembahasan RUU HPI dipercepat agar rancangan itu dapat disahkan jadi UU pada 2021. "Kita bersyukur RUU HPI ini masuk agenda prioritas, tapi maksimal 2021 (sudah disahkan) karena problem kita tidak lagi hanya di dalam negeri. Kita harus perjuangkan tahun depan RUU HPI masuk agenda prioritas prolegnas," tambah Jimly.
Baca juga: Kemenlu selenggarakan sarasehan pengembangan hukum perdata internasional
Baca juga: Tim RUU Hukum Perdata Internasional sosialisasi ke Kuala Lumpur
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020