"Jadi yang kami minta itu pemungutan suaranya tetap serentak tapi dibagi dalam dua pola. Pertama, pemilu serentak nasional memilih DPR, Presiden, DPD. Kemudian, dua tahun setelahnya pemilu serentak nasional dilakukan itu, kita adakan pemilu serentak daerah memilih DPRD Provinsi dan Kepala Daerah Provinsi, lalu DPRD Kabupaten/Kota dan Kepala Daerah Kabupaten/Kota," kata Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, saat diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Kamis.
Oleh karena itu, pihaknya meminta DPR untuk mengkaji sistem pemilu serentak dipisah jadi dua tingkatan, karena sistem Pemilu 2019 tidak efektif dan kurang efisien.
Menurut dia, keserentakan Pemilu 2019 seharusnya tidak dilanjutkan pada Pemilu 2024 nanti.
Hal itu lantaran Pemilu 2019 mengakibatkan banyak suara tidak sah dalam pemilu. Sebab, lima kertas suara yang digunakan membuat pemilih kurang cermat dalam mencoblos.
Kedua, pemilihan legislatif (DPR, DPD dan DPRD) kurang mendapat perhatian karena pemilih fokus kepada pemilihan presiden dan wakil presiden.
Ketiga, pemilu serentak pada 2019 dengan menggunakan lima kotak suara mengakibatkan ratusan petugas pemilu ad hoc di lapangan meninggal dunia.
"Apalagi jika nanti pileg, lalu pilpres dilakukan di hari yang sama dengan pilkada, bisa dibayangkan (kondisinya)," tutur Titi.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak menolak pokok petitum yang diminta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yakni memohon agar MK menyatakan bahwa pemilu serentak yang konstitusional adalah pemilu serentak yang nasional, untuk memilih Presiden, DPR, dan DPRD, baru setelahnya dilaksanakan pemilu serentak lokal untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, bersamaan dengan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Perludem pun memberikan apresiasi terhadap putusan MK yang turut memberikan pondasi dan batasan yang sangat kuat terhadap sistem penyelenggaraan pemilu serentak ke depan.
Titi menambahkan, opsi pemilu serentak nasional dan serentak daerah merupakan opsi yang sesuai dengan 6 opsi sistem pemilu dalam putusan MK.
"Pilihan yang sejalan dengan rambu-rambu adalah pemilu serentak nasional dan daerah. Tapi rambu-rambu yang sudah diberikan MK itu mesti jadi pintu masuk yang dipegang oleh pembuat UU, DPR dan pemerintah yang saat ini sedang merevisi UU Pemilu. Jadi UU pemilu itu sudah mendapatkan pondasi baik tentang arah mereka harus membahas," ujar Titi.
Adapun enam model pemilu serentak yang dinilai MK konstitusional, yaitu:
1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan pemilihan anggota DPRD.
2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, gubernur, bupati/walikota.
3. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, anggota DPRD, gubernur, dan bupati/walikota.
4. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/walikota.
5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD provinsi, gubernur, dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih DPRD kabupaten/kota dan memilih bupati/wali kota.
6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden.
Baca juga: MK buka sejumlah pilihan model pemilu serentak
Baca juga: Perludem: OTT Wahyu Setiawan jadi guncangan berat KPU
Baca juga: Perludem proyeksikan persoalan Pilkada 2020 sama dengan sebelumnya
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2020