"Kami tidak akan kemudian melahirkan fenomena baru cicak buaya satu, dua tiga, empat, tidak," ujar Ghufron di Jakarta, Rabu.
Istilah cicak versus buaya populer pertama kali pada medio 2009, merujuk pada pernyataan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri saat itu, Susno Duadji yakni "Cicak kok mau melawan buaya".
Kata cicak lalu diasosiasikan sebagai KPK, sedangkan buaya merupakan kepolisian. Istilah tersebut kemudian kerap muncul ketika terjadi "perseteruan" antara KPK dan Polri.
Ghufron menyatakan perseteruan semacam itu tidak akan terjadi kembali. KPK kata dia, saat ini akan lebih memperkuat kemitraan dengan Polri maupun institusi penegak hukum lainnya.
"Ini kembali kepada kemitraan, bahwa kita mestinya bermitra, bukan bermusuhan. Bangunan-bangunan ketatanegaraan, khususnya bidang hukum, ada Polisi, ada Jaksa, ada MA, bangunan ini tidak boleh diruntuhkan," ujar Ghufron.
Ghufron melanjutkan, "jadi kami akan bermitra dengan semua aparat penegak hukum, dengan Kejaksaan, Kepolisian dan dengan Mahkamah Agung. kami itu adalah tonggak-tonggak yang diciptakan dalam ketatanegaraan sebagai penegak hukum."
Lebih lanjut pria yang sebelumnya menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum di Universitas Jember itu mengatakan bahwa apabila nantinya ditemukan oknum-oknum "nakal" yang berprilaku korup di dalam institusi-institusi itu, KPK akan tegas menangkap.
""KPK akan bermitra dengan penegak hukum semua. Kalau ada polisi yang kemudian nakal, kita tangkap," kata Ghufron.
Namun, kata dia, masyarakat tidak boleh serta merta menuduh bahwa institusi tersebut sebagai "sarang rasuah".
"Kalau kemudian di dalamnya ada tikus-tikus, ada yang nakal-nakal, maka tidak boleh kita kemudian menuduh semuanya. KPK saat ini pendekatannya begitu," ujar dia.
Baca juga: KPK mulai seleksi administrasi untuk empat jabatan struktural
Baca juga: Ketua KPK: Kepala daerah jangan sediakan amplop kosong di ruang kerja
Baca juga: Abdullah Hehamahua soroti penghentian 36 perkara di KPK
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020