Kesepakatan itu disetujui oleh Ketua Umum DPP Partai NasDem Surya Paloh dan Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto di Jakarta, Senin (9/3).
Selama beberapa bulan terakhir ini, wacana tentang pemisahan pemilihan wakil-wakil rakyat dengan pemilihan kepala pemerintahan terus dilontarkan oleh berbagai tokoh politik, akademisi, tokoh-tokohn organisasi kemasyarakatan, hingga warga biasa.
Pemisahan pileg dengan pilpres tentu saja bukan merupakan pemikiran yang asal-asalan saja karena pemilu pada 9 April 2019 menunjukkan banyak sekali kejadian yang negatif.
Rakyat Indonesia kemungkinn tidak bisa melupakan sampai kapan pun juga bahwa ratusan orang baik pria maupun wanita yang menjadi petugas pemilu harus kehilangan nyawa, terutama akibat bekerja keras demi membuktikan kepada warga Indonesia sendiri maupun dunia bahwa Negara Kesatuan Republik Inonesia telah makin demokratis.
Baca juga: Surya Paloh minta legislatif sikapi putusan MK soal pemilu serentak
Perjuangan ratusan orang itu tidaklah sia-sia karena telah terpilih Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amien serta ratusan wakil rakyat. Mereka semua atau sedikitnya hampir semua diantara mereka telah mulai mengabdi kepada bangsa dan negara RI.
Apabila menengok sejarah di belakang, keputusan untuk menggabungkan pilpres dan pileg bukanlah merupakan hal tanpa alasan. Dengan menggabungkan dua jenis pemungutan suara itu, diharapkan jutaan pemilih tidak usah datang dua kali ke tempat pemungutan suara alias TPS.Sementara itu, para petugas diharapkan dapat bekerja secara efektif dan efisien pada hari yang sama.
Akan tetapi, pengalaman tetap saja menunjukkan bahwa ada saja hal-hal negatif yang muncul, terutama meninggalnya ratusan petugas penyelenggara pemungutan suara.
Sementara itu, banyak partai politik yang kesulitan untuk memilih di antara dua hal. yakni mengutamakan pemilihan presiden ataukah mementingkan mengampanyekan calon-calon wakil mereka di DPRD, DPR, DPD, hingga MPR.
Selain faktor-faktor itu, munculnya beberapa partai politik baru telah menambah makin hangat dan serunya pemilihan wakil-wakil rakyat.
Dahulukan Pemilu Anggota Legislatif
Ketua Umum NasDem Surya Paloh dan Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto mengusulkan pemilu anggota legislatif lebih dahulu, kemudian pilpres.
Tentu Airlangga Hartarto juga menyetujui pola ini. NasDem, Golkar, dan partai-partai lainnya, baik yang bersifat nasional maupun “partai lokal”, pada dasarnya bisa menerima usul kedua partai tersebut. Kenapa?
Baca juga: Survei: Masyarakat tidak mau pemilu presiden dan legislatif serentak
Semua partai tentu harus “mandi keringat” untuk mengampanyekan calon-calon anggota legislatif mereka. Sekarang saja, setidaknya ada 14 parpol di tingkat pusat dan empat parpol lokal di Aceh. Bakal muncul beberapa parpol baru sehingga kampanye kian seru, hangat, hingga menegangkan.
Akan tetapi, sebaliknya paling-paling akan muncul dua hingga tiga bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Pileg dan pilpres memang masih lama, sekitar 2023—2024. Akan tetapi, Undang-Undang Pemilu tentu harus direvisi. Belum lagi berbagai peraturan perundangan lainnya, seperti peraturan presiden, peraturan mendagri, hingga pembentukan atau penetapan anggota-anggota KPU.RI, KPU di 34 provinsi, kota, dan kabupaten hingga penetapan para anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Sementara itu, suasana tegang hingga panas diperkirakan bakal berlangsung di DPR, terutama di berbagai komisi yang menangani masalah pemilu hingga anggarannya . Yang tidak kalah tegangnya adalah suasana di kalangan internal semua parpol tanpa kecuali.
Jika saat ini, di DPR misalnya masih ada anggota yang sudah tua-tua, pertanyaannya adalah apakah mereka masih nekat atau berambisi untuk ke Senayan lagi pada periode 2024—2029?
Yang paling pokok adalah apakah akan makin banyak generasi muda yang ingin ‘bercokol” di Senayan dan DPRD? Tentu saja merupakan hal yang wajar apabila ada generasi muda yang ingin mengabdi sebagai wakil rakyat yang terhormat di DPD, DPR, ataupun DPRD. Sekalipun pileg masih lama, sudahkah mereka itu “menyingsingkan lengan baju” mereka supaya gambarnya dicoblos oleh para pemilih.
Baca juga: KIP Banda Aceh segera eksekusi putusan MK
Sekarang saja rakyat NKRI sudah mencapai kurang lebih 267 juta jiwa dan angka itu akan terus bertambah hingga 2023/2024. Maka, pertanyaannya ialah sudah siapkah mereka maju pada Pileg 2024. Detik ini saja, masih ada setumpuk persoalan yang harus dipikirkan para para wakil rakyat di DPD, DPR, dan DPRD, apalagi 4—5 tahun mendatang.
Contoh nyatanya adalah sudah cukupkah makan seluruh WNI? Bagaimana Pendidikan mereka? Memadaikah rumah atau hunian bagi rakyat di daerah-daerah terpencil? Sudah tersalurkah hak-hak politik puluhan juta warga di daerah terluar dan terpencil?
Jadi, menjelang pilpres dan pileg pada tahun 2024, setumpuk PR atau ”pekerjaan rumah” telah menanti di depan mata rakyat Indonesia. Sekalipun pemilu masih beberapa tahun lagi, sudah banyak sekali hal yang harus disiapkan dan disongsong bangsa ini, termasuk wacana untuk memisahkan atau “menceraikan“ pileg dengan pilpres supaya kejadian-kejadian buruk tak terulang lagi.
*) Arnaz Ferial Firman, wartawan LKBN ANTARA pada tahun 1982—2019, pernah meliput acara kepresidenan selama 1987—2009.
Pewarta: Arnaz Ferial Firman *)
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020