• Beranda
  • Berita
  • Milenial kuasai sayur Pasar Induk Kramat Jati Jakarta

Milenial kuasai sayur Pasar Induk Kramat Jati Jakarta

15 Maret 2020 09:40 WIB
Milenial kuasai sayur Pasar Induk Kramat Jati Jakarta
Produksi sayuran yang dikelola petani milenial (Foto ANTARA/ Ganet Dirgantoro)

pendapatan bersih Rp20 sampai 50 juta setiap bulan dari bertanam sayuran

Tahukah Anda, terutama masyarakat Jakarta bahwa pasokan sayur-mayur di pasar induk Kramat Jati, kini dikuasai pasokannya dari kebun-kebun petani milenial?

Pasokan yang berkesinambungan, kualitas produk yang terus terjaga dan harga stabil adalah sejumlah indikator bahwa  telah terjadi perubahan dalam sistem pertanian. Penggunaan teknologi modern di sektor pertanian membuat hasil pertanian saat ini, semakin beragam dan berkualitas.

Faktanya, perkebunan sayuran seperti timun, paria, labu, bayam, kangkung, melon, semangka yang terhampar dari timur Jakarta mulai dari Karawang, Subang, sampai Indramayu, sedangkan dari barat Jakarta di Kabupaten Tangerang sampai Kabupaten Serang, kini banyak dikelola milenial.

Ini menunjukkan bahwa regenerasi di tingkat petani telah berjalan dan tentunya keadaan ini akan menjamin keberlangsungan pasokan pangan bagi Jakarta, terutama untuk sayuran dan buah-buahan.

Alasan petani muda ini menekuni hortikultura karena penghasilan yang didapat sangat lumayan, setidaknya untuk lahan satu hektar sudah dapat mengantongi pendapatan bersih Rp20 sampai 50 juta setiap bulan dari bertanam sayuran.

Seperti disampaikan petani senior Ono Sudiono yang mengatakan putranya dipercaya untuk mengelola kebun timun dan paria di Indramayu, sedangkan dirinya menggarap untuk komoditas yang sama di Karawang.

Baca juga: Perhepi: petani milenial dibutuhkan untuk transformasi pertanian

Setelah lulus kuliah milenial ini memilih tidak bekerja sebagai pegawai, baik di pemerintahan maupun perusahaan. Tingginya penghasilan dari bertanam sayuran membuatnya memilih untuk menjadi petani.

Namun, bagi petani modern, tampaknya kemampuan bidang teknologi terutama penguasaan internet dan data menjadi bekal untuk menjadi seorang yang ingin bercocok tanam sukses.

Penggunaan aplikasi pertanian menjadi salah satu cara yang dipakai para petani muda. Setidaknya mereka mengetahui tanaman apa saja yang bakal panen dalam beberapa bulan ke depan sehingga mereka tidak bertanam jenis yang sama agar harga tetap terkendali.

Ono menjelaskan untuk tanaman timun sebagai contoh, sekali panen bisa menghasilkan jumlah yang sangat banyak bahkan bisa berkali-kali. Frekuensi panen timun ini harus dijaga agar tidak semuanya masuk pasar secara bersamaan.

Aplikasi juga kerap digunakan petani muda untuk mendeteksi penyakit. Bahkan dengan informasi cuaca mereka bisa menentukan kapan tanaman membutuhkan air, pupuk, bahkan obat untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Banyak vendor penyedia aplikasi sektor hortikultura di google store dan dapat diunduh gratis, salah satunya adalah Sipindo. Khusus aplikasi ini baru dapat dioperasikan pada sistem android.

Baca juga: Mentan: Generasi milenial harus berani jadi petani
 
Illustrasi: Produk pertanian. Pedagang sayur mayur menunggu pembeli di Pasar Senen, Jakarta (ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)


Sekolah tani
Maraknya kalangan milenial untuk bercocok tanam juga terlihat dari banyaknya siswa yang mendaftar di jurusan pertanian Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 2 Subang, bahkan dalam tiga tahun terakhir, kelas selalu penuh.

Orang yang bertanggung jawab atau "Person In Charge" (PIC) dari SMKN 2 Subang Etin Rohayati mengatakan dalam tiga tahun terakhir sudah ada enam rombongan (satu rombongan terdiri dari 32 siswa yang masuk dalam jurusan pertanian).

Etin mengatakan SMNK 2 Subang merupakan salah satu dari sekian banyak sekolah yang mendapat bantuan dari Pemerintah Belanda., khususnya untuk praktik pertanian hortikultura modern.

Mereka bekerja sama dengan PT East West Seed Indonesia (Ewindo) yakni  sebuah perusahaan yang bergerak di bidang benih sayuran dengan induk perusahaan di Belanda.

Etin mengatakan hampir 70 persen siswa belajar mengenai praktik bercocok tanam di lahan sekolah seluas 1,4 hektare, para siswa juga berkesempatan untuk magang di PT Ewindo sehingga setelah lulus mereka siap untuk bekerja sebagai petani mandiri dan memang lulusan SMKN 2 sebagian besar menjadi petani mandiri.

Baca juga: Petani milenial dongkrak nilai ekspor pertanian Jawa Tengah

Etin menjelaskan berbekal praktikum dan kerja lapangan mereka tidak lagi kesulitan untuk membuka lahan pertanian sendiri bahkan beberapa di antaranya sukses melanjutkan pertanian keluarga.

Dalam rangkaian kunjungan Raja Willem Alexander dan Ratu Maxima dari Kerajaan Belanda ke Indonesia sejak 10 Maret 2020, ikut serta dalam rombongan Wakil Menteri Pertanian, Alam, dan Kualitas Pangan Belanda, Jaan Kees Goet.

Jaan Kees Goet mengatakan kesiapannya untuk berbagi pengalaman dengan petani di Indonesia untuk menghasilkan produk hortikultura berkualitas termasuk pengembangan sumber daya manusia.

Jaan juga mengatakan Belanda dikenal sebagai negara yang memiliki produk hortikultura berkualitas untuk itu pihaknya telah menjalin kerja sama dengan Kementerian Pertanian, salah satunya untuk mengembangkan benih unggul hortikultura.

Untuk pengembangan sumber daya manusia, Managing Director PT Ewindo, Glenn Pardede mengatakan dalam tiga tahun terakhir, pihaknya fokus mengembangkan pendidikan vokasi berbasis pertanian dengan memberikan pelatihan budidaya hortikultura.

Baca juga: Mekanisasi pertanian tarik minat kaum milenial

Konsepnya bekerjasama dengan beberapa SMK baik negeri maupun swasta dengan melibatkan ratusan siswa tersebar di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang.


Pertanian modern
Salah satu yang dituntut petani milenial saat ini adalah teknologi pertanian dan terkait hal itu baik pemerintah Belanda maupun Ewindo siap untuk memberikan dukungan melalui penyediaan varietas unggul.

Glenn Pardede mengatakan setidaknya setiap tahun mengeluarkan lima sampai enam benih unggul seiring dengan semakin berkembangnya penyakit tanaman dan perubahan iklim sesuai keinginan pasar.

Glenn mencontohkan semangka yang digemari pasar saat ini tanpa biji maka varietas itu yang disiapkan termasuk alternatif semangka berwarna kuning. Semua itu menyesuaikan permintaan pasar utama salah satu yang menjadi tolak ukur untuk konsumen Jakarta.

Gleen juga mengatakan harga benih sayuran selama ini hanya tiga persen dari biaya yang dikeluarkan petani. Biaya terbesar justru berasal dari pupuk, obat, sewa lahan, dan tenaga kerja. Sehingga agar tidak memberatkan petani milenial varietas unggul itu terus diriset agar lebih tahan terhadap penyakit dan cuaca.

Ewindo saat ini telah memproduksi 150 varietas unggul sayuran tropis lokal seperti tomat, cabai, timun, kacang panjang, terong, kangkung, caisim, melon dan semangka.

Baca juga: Kementan ingatkan petani milenial kuasai teknologi pertanian 4.0

Ewindo bersama dengan mitra juga telah mengembangkan aplikasi untuk mendukung pertanian modern. Melalui aplikasi itu petani akan mendapatkan pengetahuan mengenai penyakit tanaman sehingga dapat diantisipasi sejak dini.

Sedangkan Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Prihasto Setyanto mengatakan tantangan yang dihadapi pertanian hortikultura ini juga kian berat selain pasar yang semakin kompetitif juga iklim ekstrim.
Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Prihasto Setyanto (tengah), dan Managing Director PT Ewindo Glenn Pardede (kiri) memperlihatkan hasil sayur siap panen kepada Wakil Menteri Pertanian, Alam, dan Kualitas Pangan Belanda, Jaan Kees Goet (kanan) di Purwakarta Jawa Barat (ANTARA/HO-Ewindo)


Prihasto menyampaikan apresiasi terhadap pemerintah Belanda dan Ewindo yang telah melakukan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanian melalui vokasi dan SMK.

Menurut Prihasto ketahanan pangan dapat dicapai di antaranya melalui penguatan sektor hortikultura. Hal ini dapat tercapai apabila sektor ini mendapat dukungan petani-petani unggul yang mampu mengoptimalkan lahan terbatas menjadi produk-produk hortikultura berkualitas.

Prihasto mengatakan Indonesia masih membutuhkan lebih banyak lagi petani hortikultura tidak hanya terpaku di Jawa tetapi juga di pulau-pulau lainnya di Indonesia untuk menekan biaya transportasi ke sentra penjualan.

Baca juga: Pemerintah kirim petani milenial Aceh magang ke Thailand

Harapan pemerintah ini memang seiring dengan pola pikir petani-petani muda. Berkotor-kotor dengan tanah menjadi keseharian mereka. Alasan mereka untuk masuk ke pertanian karena sektor ini memang menjanjikan dari sisi pendapatan.

Sebagai modal kerja sudah tersedia kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga ringan dan syarat yang mudah. Praktis untuk biaya awal membuat bedeng, pupuk, obat, sampai dengan tenaga kerja tidak lagi sulit. Pinjaman itu tinggal dilunasi saat panen.

Agaknya, jumlah penduduk Indonesia pada 2020 yang diprediksi 271 juta jiwa dapat menjadikan sektor pangan masih menjadi sektor menarik untuk digarap, terutama bagi para petani muda.

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2020