Nuansa Ramadhan pun tak begitu semarak

20 April 2020 09:59 WIB
Nuansa Ramadhan pun tak begitu semarak
Corona virus. (ANTARA/Shutterstock) (babel.antaranews.com/ANTARA/Shutterstock)

Hanya dalam hitungan jari, bulan suci Ramadhan akan kembali menyapa umat Islam di seluruh dunia. Sebuah bulan yang selalu ditunggu, terutama bagi "pengejar pahala".

Kehadiran bulan suci Ramadhan selalu memberikan kegembiraan yang sulit diucapkan dengan kata-kata. Karena bukan saja dipenuhi dengan ibadah yang dapat melipatgandakan pahala, namun juga dapat menghapus dosa manusia.


Karena itu, kehadiran bulan suci Ramadhan selalu disambut dengan gegap gempita, bagaikan menerima kehadiran seorang tamu agung.


Kegembiraan itu diwujudkan dengan menggelar berbagai kegiatan, mulai dari syukuran, bersedekah, membersihkan rumah ibadah, hingga mandi air wangi-wangian.


Kondisi itu juga menjadi tradisi warga Bangka Belitung, sebuah provinsi kepulauan yang didominasi masyarakat etnis Melayu.


Berbagai jenis kegiatan dan upacara tradisional keagamaan digelar untuk menyambut kehadiran bulan suci Ramadhan, bahkan satu bulan sebelum bulan penuh keberkahan itu tiba.


Namun, sejak pandemi Virus Corona penyebab COVID-19 melanda dunia semarak menyambut bulan suci Ramadhan itu tidak terlihat. Ramadhan pun seolah-olah tak bernuansa.


Menurut Budayawan Bangka Belitung Akhmad Elvian, setidaknya ada lima budaya yang selalu digelar menjelang Ramadhan yakni "Perang Ketupat", Ruwahan, ziarah kubur, sedekah kubur, dan meriam bambu.


Baca juga: Risau Ramadhan di petugas garda terakhir COVID-19

Baca juga: Tetap ibadah di tengah pandemi COVID-19



Perang Ketupat


Perang Ketupat merupakan salah satu tradisi menyambut hari besar seperti bulan suci Ramadhan yang rutin digelar di Kabupaten Bangka Barat.

Berdasarkan pengalaman sebelumnya, upacara tradisional yang biasanya digelar pada pertengahan Bulan Sya’ban itu sering dilaksanakan di kawasan Pantai Pasir Kuning, Desa Tempilang, Kecamatan Tempilang, Kabupaten Bangka Barat.


Umumnya, upacara tradisional tersebut dilaksanakan dengan menjalankan prosesi lima tahapan yaitu "Penimbongan", "Ngancak", "Perang Ketupat", "Ngayok Perae", dan "Taber Kampong".

Penimbong merupakan acara memberikan makanan kepada makhluk halus yang dipercayai bertempat tinggal di darat. Menurut para pengetua adat, makhluk halus itu termasuk makhluk halus baik dan dipercayai sebagai penjaga masyarakat kampung terhadap serangan makhluk jahat.


Prosesi acara Penimbong juga disemarakkan dengan beberapa tarian tradisional seperti "Tarian Campak", "Tarian Serimbang", "Tarian Kedidi", dan "Tari Seramao".

Kemudian, Ngangcak adalah pemberian makanan kepada makhluk-makhluk halus yang bermukim di laut terutama si hewan buaya. Setelah proses ritual Penimbong dan Ngancak dilaksanakan, barulah dilanjutkan dengan prosesi perang ketupat dan Ngayok Perae (menghanyutkan perahu).

Rangkaian pesta adat ditutup dengan ritual "Taber Kampong" atau menabur kampung dengan air tabur dan bunga pinang yang dimaksudkan agar seluruh rumah masyarakat terhindar dari bencana dalam setahun ke depan, sekaligus membuang "tasak besek" atau penyakit kulit dan buyung sumbang atau perzinahan.


Akhmad Elvian mengatakan, berbagai ritual yang ada dalam Perang Ketupat itu dimaksudkan untuk membersihkan kampung dari berbagai perilaku dan pengaruh jahat yang dapat merusak kehidupan manusia.


Baca juga: Kemenag siapkan protokol rukyatulhilal saat pandemi COVID-19

Baca juga: Kemenag: Ramadhan di rumah tidak mengurangi kualitas ibadah



Ruwahan


Menurut Akhmad Elvian, kegiatan Ruwahan merupakan penyelenggaraan doa bersama sambil mengenang petuah dan nasihat para leluhur yang rutin digelar masyarakat Bangka Belitung menjelang Ramadhan.

Dalam kegiatan itu, umumnya masyarakat memasak ketupat dan lepat yang disajikan kepada kerabat dekat dan masyarakat datang berkunjung untuk bersilaturahmi menjelang Ramadhan.

"Biasanya disertai makanan lain. Kalau di Bangka Selatan, biasanya disertai hidangan ayam. Di daerah lain, ada ayam, ada juga daging," katanya.


Kemudian, masyarakat Bangka Belitung juga menggelar ziarah dan sedekah kubur. Namun, dalam sedekah kubur, masyarakat biasanya membuat acara doa di kuburan, sambil memberikan sedekah bagi warga yang ada di sekitar.


Sedangkan meriam bambu umumnya dilakukan anak-anak yang menebang pohon bambu untuk dijadikan meriam yang biasanya dinyalakan selama beberapa hari hingga menjelang malam Ramadhan.


"Bambu yang kecil juga diambil dan dijadikan bedil untuk bermain anak-anak," ujar Akhmad Elvian.


Baca juga: Hindari corona, Masjid Al Aqsa tak akan dibuka untuk tarawih

Baca juga: Kapolri terbitkan surat telegram imbauan baksos Polri jelang Ramadhan



Batal digelar


Disebabkan adanya ancaman COVID-19, Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan meminta Pemkab Bangka Barat untuk membatalkan kegiatan Perang Ketupat yang juga dianggap sebagai tradisi tolak bala itu.


Biasanya, kata gubernur, tradisi Perang Ketupat yang digelar setiap tahun tersebut sering dikunjungi ribuan wisatawan, termasuk yang berasal dari luar negeri.


Karena itu, pihaknya meminta kegiatan tersebut dibatalkan disebabkan kerumunan massa yang ramai berpotensi menjadi sarana penyebaran virus yang telah melanda hamper seluruh negara di dunia itu.


Pemprov Kepulauan Bangka Belitung juga telah meminta tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat untuk mengurangi, menghentikan sementara kegiatan yang bersifat perkumpulan orang banyak
.

Budayawan Bangka Belitung Akhmad Elvian mengakui peniadaan beberapa acara adat itu mengurangi semarak dan khidmatnya kedatangan bulan suci Ramadhan.


Namun, imbauan dan pelarangan dari pemerintah itu harus diikuti karena bertujuan baik yakni menyelamatkan manusia dari ancaman virus yang telah menjadi dunia internasional tersebut.


Apalagi dalam masyarakat Bangka Belitung ada kearifan lokal yang disebut "Sindang Mardika" mengenai sikap dan tindakan yang harus dilakukan jika menghadapi wabah dan ancaman penyakit.


Dalam kosep Sindang Mardika, ada budaya "kurung" dan "kukung" jika di suatu daerah sedang dilanda wabah penyakit yang berbahaya.


"Kurung" merupakan keharusan untuk berkurung diri secara personal yang saat ini sering disebut social distancing. Sedangkan "kukung" adalah menghindari menghindari keramaian, termasuk dalam pelaksanaan ibadah.


Meski nuansa Ramadhan tidak terlalu khidmat akibat tidak adanya berbagai acara adat tersebut, namun diharapkan tidak mengurangi semangat masyarakat untuk beribadah, sambil terus berdoa agar ancaman virus Corona segera berakhir.


Mari selalu dekatkan diri kepada Allah SWT dan terus berdoa sehingga cobaan ini segera berlalu dan kita bisa berkumpul dengan keluarga kembali.*


Baca juga: MUI sebut pandemi COVID-19 momentum tingkatkan tali kekeluargaan

Baca juga: MUI: Jadikan rumah pusat kegiatan ibadah saat Ramadhan

Pewarta: Irwan Arfa
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020