"Kondisi saat ini, saat PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) bisa terjadi tensi sosial karena orang satu sama lain menjadi cenderung saling curiga," kata akademisi Universitas Indonesia itu ketika dihubungi dari Jakarta pada Selasa.
Ia mengatakan, penerapan PSBB untuk memutus rantai penularan virus corona yang membuat sebagian warga berdiam di rumah, menjaga jarak di tempat umum, dan membatasi kegiatan di luar rumah bisa mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat.
Namun, ia melanjutkan, kondisi tersebut tidak akan sampai menimbulkan perubahan besar pada kebiasaan masyarakat dan menghadirkan kondisi yang disebut new normal (normal baru).
"Mungkin bagi sekelompok orang yang berpikiran wabah ini harus diwaspadai dan harus dicegah, akan berpengaruh bagi mereka. Tapi bagi publik secara keseluruhan, saya melihat itu tidak akan terjadi," kata Rissalwan.
Hal itu, menurut dia, antara lain terlihat dari masih banyaknya warga yang belum memakai masker saat berada di tempat-tempat umum meski pemerintah sudah berulang kali menganjurkan warga mengenakan masker saat berada di luar rumah.
Selain itu, masih saja ada warga yang marah ketika diingatkan untuk mengenakan masker guna menghindari penularan virus. Seorang perawat di Semarang, Jawa Tengah, dipukul karena mengingatkan orang untuk mengenakan masker.
Rissalwan menyebut kejadian itu sebagai friksi kecil dalam masyarakat yang belum seluruhnya memahami dan menyadari ancaman penularan COVID-19.
Sosiolog dari Universitas Nasional Sigit Rochadi juga mengatakan bahwa dampak sosial di kalangan warga yang tidak sampai kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal akibat wabah tidak akan signifikan.
"Berbeda dengan mereka yang kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal, mereka harus melakukan penyesuaian," katanya.
Baca juga:
Presiden minta kepala daerah hitung dampak sosial ekonomi COVID-19
Menaker-Menteri Perburuhan kelompok G20 bahas dampak COVID-19
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2020