"Dalam prosesnya pembahasan omnibus di parlemen itu sama, tidak ada perbedaan pembentukan UU pada umumnya yang sering dibahas oleh DPR," katanya di Solo, Jawa tengah, Senin.
Ia mengatakan jika prosesnya sama maka asas yang digunakan maupun prinsipnya juga harus sama.
"Kalau kita bicara soal asas, sudah jelas ditentukan dalam Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011, yaitu apapun peraturan perundang-undangannya harus mempunyai kejelasan tujuan," katanya.
Baca juga: Pakar: Segera sahkan RUU Cipta Kerja sebelum pandemi COVID-19 berlalu
Kepala Pusat Demokrasi dan Ketahanan Nasional (Pusdemtanas) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UNS ini mengatakan harus ada kesesuaian antara asas hierarki dengan materi muatan dalam penyusunan "Omnibus Law" ini.
"Jangan sampai kita menyusun sebuah peraturan perundang-undangan yang nyatanya tidak bisa dilaksanakan. Kalau bisa dilaksanakan kira-kira mempunyai kegunaan sejauh mana untuk masyarakat," katanya.
Untuk mengetahui sejauh mana "Omnibus Law" membawa manfaat bagi masyarakat baik dari sektor ekonomi maupun hukum, dikatakannya, pemerintah dan DPR harus transparan selama menjalankan proses pembahasan maupun penyusunan.
"Ini juga untuk menjawab asas keterbukaan yang telah tercantum dalam Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011," katanya.
Selain itu, dikatakannya, masyarakat juga berhak memberikan masukan terkait penyusunan tersebut.
"Masukan ini baik lisan maupun tertulis dalam rangka penyempurnaan dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, DPR harus memberikan akses partisipatif kepada masyarakat secara optimal," katanya.
Baca juga: Pengamat harap RUU Cipta Kerja koreksi kriteria UMKM nasional
Baca juga: Terkait SDA, Guru Besar IPB sarankan perumus omnibus law kaji daerah
Baca juga: Pakar: Penolak RUU Cipta Kerja bakal jadi "public enemy" pascaCOVID-19
Pewarta: Aris Wasita
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020