Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di London mendorong perusahaan rintisan atau startup teknologi finansial Inggris untuk berinvestasi di sektor digital di Indonesia.OVO saat ini mengalokasikan 50 persen dari tenaga kami untuk hal-hal yang berkaitan dengan COVID-19 berkolaborasi dengan berbagai instansi pemerintah karena fintech adalah kunci dalam memutus siklus transmisi dalam mengurangi sentuhan fisik
Hal itu karena perkembangan ekonomi digital diperkirakan akan semakin meningkat pascapandemi COVID-19, seperti disampaikan dalam keterangan tertulis KBRI London yang diterima di Jakarta, Rabu.
Kehidupan normal baru akan terbentuk yang ditandai dengan peningkatan tren konsumen untuk produk-produk berbasis teknologi, seperti e-commerce, e-payment, dan e-transportation.
Hal tersebut melahirkan tantangan sekaligus peluang bagi perkembangan ekonomi digital, terutama industri teknologi finansial di Indonesia yang merupakan pasar terbesar di Asia Tenggara.
Baca juga: OJK - FSC Korea perkuat kerjasama keuangan digital
Baca juga: Kerja sama teknologi finansial syariah dijalin Lazismu-Swedia
Untuk itu, startup teknologi finansial Inggris dianjurkan untuk memanfaatkan tren dan peluang tersebut dengan berinvestasi di Indonesia.
Pandangan itu disampaikan oleh Wakil Menteri Luar Negeri RI Mahendra Siregar dalam pidato kunci dalam kegiatan bincang virtual bertema Indonesia Digital Roundtable: Fintech Opportunities and Trends in Indonesia - the largest digital economy in ASEAN yang diadakan KBRI London pada Selasa (19/5).
Inggris sendiri sudah dikenal sebagai hub (pusat kegiatan) untuk industri jasa keuangan konvensional dan saat ini juga menjadi salah satu hub terpenting untuk industri teknologi finansial sehingga dapat saling melengkapi, kata Wamenlu Mahendra.
Dalam sesi panel bincang virtual itu, CEO OVO Jason Thompson menyampaikan tiga hal penting yang perlu dilakukan investor ekonomi digital untuk dapat masuk dan sukses di pasar Indonesia, salah satunya melakukan "lokalisasi" dengan mengadaptasikan solusi di kota-kota besar seluruh di Indonesia dan tidak hanya berfokus di Jakarta.
Kedua, menurut Jason, investor perlu merangkul basis konsumen yang besar dengan melakukan uji-percobaan-bagikan (test-trial-share).
Ketiga, lanjut dia, investor harus berinteraksi dengan regulator secara transparan baik secara formal maupun informal.
Jason juga menambahkan bahwa Indonesia sangat terbuka untuk investasi dan inovasi, namun pemain teknologi finansial asing harus mau untuk berintegrasi dengan kebutuhan dalam negeri.
"OVO saat ini mengalokasikan 50 persen dari tenaga kami untuk hal-hal yang berkaitan dengan COVID-19 berkolaborasi dengan berbagai instansi pemerintah karena fintech adalah kunci dalam memutus siklus transmisi dalam mengurangi sentuhan fisik," ujar Jason.
Wakil Duta Besar RI untuk Inggris Adam M. Tugio mengatakan bahwa KBRI London melakukan kegiatan bincang sekaligus promosi virtual itu untuk memfasilitasi startup industri global yang tertarik berinvestasi, namun terkendala pengetahuan tentang peraturan dan kondisi pasar terkait di Indonesia.
Upaya itu diharapkan dapat mempertemukan industri teknologi finansial Inggris dengan startup teknologi finansial di Indonesia.
Dia pun menyampaikan bahwa KBRI London siap memfasilitasi keinginan ekspansi bisnis para investor Inggris ke Indonesia.
Baca juga: Pemerintah perlu perkuat perlindungan data nasabah fintech
Baca juga: OJK ungkap 1.000 lebih layanan teknologi finansial ilegal ditutup
Pewarta: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020