Kebijakan pemerintah mengenai Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dinilai sudah tepat dan baik, namun harus didukung kecepatan dan ketepatan dalam implementasi di lapangan.Dana program PEN akan banyak dialirkan untuk menggerakkan mesin-mesin perekonomian yang diharapkan oleh pemerintah, bisa menjadi daya ungkit ekonomi secara masif. Mesin itu ada di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan di sektor usaha kecil dan menengah
Ketua Kompartemen Investasi UKM Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Ahmad Adisuryo di Jakarta, Rabu, mengatakan program PEN yang dituangkan dalam PP Nomor 23 tahun 2020 didesain oleh pemerintah sebesar Rp641 triliun.
Dengan acuan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp16.000 triliun, dana program ini hanya sekitar 4 persen, lanjutnya, angka rasio yang relatif kecil, dibandingkan anggaran negara lain untuk bisa keluar dari pandemi COVID-19.
"Dana program PEN akan banyak dialirkan untuk menggerakkan mesin-mesin perekonomian yang diharapkan oleh pemerintah, bisa menjadi daya ungkit ekonomi secara masif. Mesin itu ada di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan di sektor usaha kecil dan menengah (UKM)," katanya melalui keterangan tertulis.
BUMN mendapat alokasi hampir Rp150 triliun, sebagai bagian penguatan struktur modal dan penguatan peran BUMN sebagai lokomotif penggerak perekonomian.
Dana UKM, lanjutnya, akan mendapat penjaminan kredit dari pemerintah, sehingga dana kredit bisa mengalir untuk menjaga likuiditas para pelaku usaha sektor UKM yang memberikan kontribusi kepada PDB sekitar 60 persen pada 2019.
Cashflow runway dari UMKM rata-rata aman untuk 1-2 bulan, sedangkan untuk pengusaha menengah 3-6 bulan.
Menurut dia, saat ini sudah hampir 2,5 bulan dari pertama diumumkannya kasus pandemi Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020 lalu, kebijakan yang sedemikian prudent dengan prinsip kehati-hatian yang baik sudah dibuat namun di tataran eksekusi dana pada program PEN yang nilainya ratusan triliun rupiah itu masih belum dirasakan sama sekali oleh kalangan pengusaha.
Adisuryo menyatakan, dari penelusuran di lapangan, pihak perbankan sebagai pihak pertama dan utama yang menerima suntikan bantuan tersebut belum mendapatkan suntikan dari pemerintah, demikian pula BUMN sebagai motor penggerak utama ekonomi negeri.
"Kondisi ini akan sangat menghambat sampainya bantuan pemerintah kepada pengusaha yang sudah mulai rontok duluan. Apabila pengusaha UMKM sudah mulai rontok duluan, untuk menghidupkannya lagi tentunya tidaklah mudah," katanya.
Untuk itu pihaknya berharap, pemerintah saat ini memprioritaskan kecepatan pelaksanaan di lapangan.
Hipmi mendesak agar pemerintah segera merealisasikan kebijakan ini ke BUMN sebagai motor penggerak ekonomi nasional, baik yang sifatnya pembayaran kompensasi Rp90,42 triliun dengan rincian Rp45,42 triliun kepada PLN dan Rp45 triliun untuk pertamina maupun penyertaan modal ke sejumlah BUMN sebesar Rp25,27 triliun, serta talangan modal kerja sebesar Rp19,65 triliun.
Ribuan UMKM yang bergantung hidup pada BUMN-BUMN saat ini, menurut dia, mengalami ketidakpastian pembayaran.
Semakin tertundanya eksekusi kebijakan ini oleh Kemenkeu dan Kementerian terkait, tambahnya, akan semakin memperparah kondisi ribuan UMKM yang sudah mati suri, bahkan berpotensi akan terlalu terlambat untuk dihidupkan kembali.
"Apabila diimbangi dengan eksekusi yang cepat dan tepat, kami yakin program pemulihan ekonomi nasional ini akan berjalan dengan mulus dan baik dengan seminim mungkin efek negatif yang dirasakan oleh para pelaku usaha dan perbankan," katanya.
Baca juga: HIPMI: Pengusaha siap terapkan normal baru dalam aktivitas ekonomi
Baca juga: Ketua HIPMI: Penghapusan monopoli proyek buka peluang bagi UMKM
Baca juga: HIPMI sambut baik program "The New Normal BUMN"
Pewarta: Subagyo
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2020