"Kasus ini telah berjalan selama 11 tahun dan selama itu pula kami sebagai rakyat terus berjalan untuk mendapatkan keadilan. Kasus ini merupakan tanggung jawab mutlak dari pemerintah Australia," kata Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara Ferdi Tanoni kepada ANTARA di Kupang, Kamis.
Penyataan itu diungkapkan berdasarkan pada perjanjian (United Nation Convention on the Law of the Sea) UNCLOS 1982 Pasal 139.
Dalam UNCLOS dinyatakan bahwa syarat bentuk pertanggungjawaban jika adanya suatu kewajiban hukum yang berlaku di negaranya, adanya suatu perbuatan/kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional dan adanya kerusakan/kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum.
Baca juga: Kasus Montara diharapkan jadi perhatian serius pemerintah
Ferdi mengatakan bahwa kilang minyak Montara merupakan milik dari suatu perusahaan Thailand. Akan tetapi, bila melihat pada prinsip tanggung jawab negara, Australia tetap harus bertanggung jawab sebagai negara tempat pengeboran dilakukan.
"Dengan kata lain tanggung jawab tersebut merupakan tanggung jawab yang bersifat absolut atau mutlak," kata Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Australia itu.
Di satu sisi, dapat diketahui bahwa Australia sebagai negara pantai yang beri izin kepada PTTEP Australasia untuk melakukan kegiatan ekplorasi dan ekploitasi di wilayah ZEE-nya.
Selain itu, juga memiliki tanggung jawab berupa kewajiban-kewajiban untuk membersihkan dan memulihkan semua dampak pencemaran dan membayar kompensasi atas segala bentuk kerugian yang dialami oleh korban pencemaran.
"Kewajiban-kewajiban tersebut berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UNCLOS 1982, khususnya Pasal 56, Pasal 60, dan Pasal 194 Ayat (2). Klaim ganti rugi diselesaikan melalui perundingan antara kedua negara," katanya.
Sehubungan dengan kasus pencemaran Laut Timor ini harus diselesaikan seperti tertera dalam UNCLOS Pasal 139 juga disebutkan bahwa negara yang menyebabkan kerugian negara lain akibat kegiatannya harus dikenakan ganti kerugian atas dampak yang merugikan negara tersebut.
Ia juga mendesak agar pemerintah Federal Australia tidak usah berpura-pura tidak mengetahui tentang hukum internasional ini, tetapi berkatalah dengan jujur untuk bersama menyelesaikan kasus tersebut.
Menurut dia, yang terpenting adalah bahwa baik Indonesia dan pemerintah Australia telah secara bersama melakukan ratifikasi terhadap UNCLOS 1982 dan kedua negara telah bersama pula membuat undang-undang ini di Australia maupun di Indonesia.
Baca juga: "Montara talk force" terus tuntut ganti rugi kepada Australia
Ia menyadari bahwa Indonesia dan Australia merupakan sahabat dekat.
Untuk itulah, dia berharap agar tidak usah lagi putar ke depan atau ke belakang soal kasus tumpahan minyak Montara pada tahun 2009 di Laut Timor ini. Akan tetapi, sebagai bangsa Indonesia, pihaknya menuntut hak dan kedaulatan yang harus dipertahankan dan Australia harus menghormati dan menerimanya.
Terkait dengan perkembangan kasus tersebut, Ferdi mengatakan bahwa pihaknya saat ini sedang menunggu putusan perkara class action petani rumput laut untuk Kabupaten Kupang dan Rote Ndao dari Pengadilan Federal Australia yang diperkirakan akan terjadi pada tahun 2020.
Di sisi lain, pihaknya juga sedang menunggu dimulainya sidang gugatan Yayasan Peduli Timor Barat terhadap pemerintah Federal Australia yang telah diajukan pada bulan Desember 2019 ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Ia mengatakan bahwa Montara Task Force terus meminta agar Presiden RI Joko Widodo menulis surat yang ditujukan kepada Perdana Menteri Australia untuk segera duduk bersama menyelesaikan kasus tumpahan Minyak Montara.
Baca juga: Peduli Timor: PBB diminta segera turun tangan atasi kasus Montara
Pewarta: Kornelis Kaha
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020