"Seolah-olah sudah new normal, (padahal) ora ngerti artine new normal pokoknya artinya (dianggap) sudah bebas," kata Ganjar dalam diskusi secara daring bertajuk "Tata Kehidupan Jejaring (Gotong Royong dan Empati) dalam Menghadapi COVID-19" yang dipantau di Yogyakarta, Jumat.
Selain itu, dia juga menyebut masih banyak orang, khususnya warga desa, yang enggan mematuhi protokol kesehatan, seperti memakai masker dan jaga jarak, karena menganggap COVID-19 hanya ada di kota-kota.
Baca juga: Pemerintah akan percepat transformasi UMKM ke online di normal baru
Hal itu, kata Ganjar, kerap dijumpai anggota Jogo Tonggo saat melakukan sosialisasi mengenai pencegahan COVID-19.
"Mereka teriak-teriak mengingatkan tetapi lama-lama juga jeleh (bosan) juga karena tingkat kengeyelannya tinggi," kata Ganjar.
Oleh sebab itu, menurut dia, sosialisasi terus digencarkan dengan melibatkan SDM dari komponen masyarakat desa melalui program Jogo Tonggo.
Ia menjelaskan bahwa penggalakan program itu memanfaatkan modal sosial berupa solidaritas dan gotong royong yang selama ini telah terbentuk di tengah masyarakat.
Melalui program itu, komponen masyarakat desa dilibatkan dengan didirikan Satgas Jogo Tonggo untuk dukung berbagai kegiatan sosial, ekonomi, kesehatan, hingga hiburan di lingkungan mereka.
"Kekuatan yang ada di bawah kita gerakkan sehinga tidak melulu dikendalikan pemerintah karena kalau masyarakat hanya diberi BPNT (bantuan pangan nontunai) belum tentu persoalan selesai," kata Ganjar.
Baca juga: Bupati: Sektor pariwisata Sleman siap laksanakan protokol normal baru
Menurut dia, Satuan Tugas Jogo Tonggo melibatkan lebih dari 1,3 juta kader PKK, lebih dari 500.000 dasa wisma, 230.000 satlinmas, 228.000 kader posyandu, 55.000 kelompok tani, dan 39.000 kader pemberdayaan masyarakat desa yang dibentuk dari Pemprov Jawa Tengah.
Selain itu, 7.527 bidan desa, 3.370 pendamping desa, 8.229 gapoktan, 1.123 tagana, 5.413 penyuluh swadaya, 540 tenaga kesejahteraan sosial di level kecamatan untuk pendataan, sukarelawan desa, tokoh masyarakat, perangkat desa, para ulama, dan tokoh agama.
Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Tri Wibawa menegaskan bahwa situasi normal baru tidak bisa disamakan dengan kondisi sebelum adanya pandemi COVID-19 di Tanah Air.
"Karena pada kenyataannya masih sangat mungkin untuk terjadi penularan (COVID-19). Makannya, disebut new normal," kata Tri Wibawa.
Baca juga: Panglima pastikan RSKI Galang siap hadapi era normal baru
Menurut pakar mikrobiologi ini, dalam situasi normal baru, masyarakat perlu memahami bahwa protokol kesehatan merupakan panduan utama dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, ekonomi, sosial, hingga beribadah sebagai usaha menghindari penularan COVID-19.
Ia menegaskan bahwa protokol kesehatan seperti menjaga jarak, cuci tangan, memakai masker, serta tidak keluar rumah jika tidak diperlukan.
"Sebenarnya new normal itu bukan barang baru, artinya merupakan hal-hal yang sudah dikenalkan sejak adanya COVID-19," kata Tri Wibawa.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020