"Terutama UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," kata Mu'ti dalam jumpa pers di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Senin.
Dia mengatakan Muhammadiyah berpendapat RUU HIP tidak terlalu mendesak dan sebaiknya tak dilanjutkan pembahasannya untuk menjadi undang-undang. Tim PP Muhammadiyah sudah mengkaji rancangan undang-undang tersebut.
Secara hukum kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai negara, kata dia, sejatinya sudah sangat kuat sehingga RUU HIP belum perlu.
"Landasan perundang-undangan tentang Pancasila telah diatur dalam TAP MPRS No XX/1966 juncto TAP MPR No V/1973, TAP MPR No IX/1978 dan TAP MPR No III/2000 beserta beberapa regulasi turunan turunannya sudah sangat memadai," katanya.
Dalam pasal 5 (e) UU 12/2011 dan penjelasannya, kata dia, disebutkan pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas kedayagunaan dan kehasilgunaan.
Peraturan, lanjut dia, dibuat memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dia mengatakan RUU HIP juga memiliki persoalan serius dengan tidak mencantumkan TAP MPRS No XXV/1966 sebagai salah satu pertimbangan draft undang-undang.
Dalam ketetapan MPRS itu, kata Mu'ti, menimbang secara jelas "bahwa paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti hakekatnya bertentangan dengan Pancasila.
Baca juga: Anggota DPR minta RUU HIP dikoreksi ulang
Baca juga: FPKS: penjabaran Pancasila di RUU HIP jangan menyimpangi sejarah
Baca juga: F-NasDem tetap tolak lanjutkan pembahasan RUU HIP
Baca juga: Din Syamsuddin nilai RUU HIP turunkan derajat Pancasila
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2020