• Beranda
  • Berita
  • Peneliti apresiasi sekaligus kritisi cara pemerintah jaring investor

Peneliti apresiasi sekaligus kritisi cara pemerintah jaring investor

25 Juni 2020 13:58 WIB
Peneliti apresiasi sekaligus kritisi cara pemerintah jaring investor
Ilustrasi: Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita (tengah) didampingi Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Muhammad Khayam (kiri) serta Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Dody Widodo (keuda kiri) memperhatikan pakaian produksi PT. Daehan Global di Brebes, Jumat (29/5/2020). ANTARA/HO-Humas Kemenperin/am.

Pendekatan langsung ke calon investor memang baik, tetapi kalau hambatan ini tidak cepat dibenahi, rasanya Indonesia sekali lagi akan di-bypass para investor

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta mengingatkan bahwa menjaring banyak investor seperti yang diidam-idamkan pemerintah membutuhkan upaya jangka panjang dalam melakukan reformasi regulasi yang konsisten, tepat dan menyeluruh.

"Perlu diingat, investasi langsung asing sifatnya adalah jangka panjang. Selain terus melakukan upaya promosi investasi untuk jangka pendek, pemerintah juga sebaiknya terus fokus membenahi berbagai hal yang menjadi kendala jangka panjang. Perusahaan yang ingin relokasi sekalipun pasti mencari iklim investasi yang stabil bukan hanya untuk 2-3 tahun ke depan tetapi 10, 20, bahkan 50 tahun," kata Andree Surianta dalam keterangan tertulis, Kamis.

Ia mengingatkan bahwa pemberlakuan lockdown atau karantina wilayah di sebagian besar wilayah China akibat pandemi COVID-19 menyebabkan menurunnya kegiatan industri di negara tersebut padahal banyak perusahaan dari berbagai belahan dunia menginvestasikan modalnya dan memiliki kegiatan operasional di sana.

Andree berpendapat bahwa rencana BKPM untuk proaktif mencari perusahaan dari China yang akan pindah ke Indonesia patut disambut baik, tetapi perlu diingat bahwa, kemungkinan besar, hal ini juga akan dilakukan negara lain, terutama dari kawasan ASEAN.

Berdasarkan FDI Restrictiveness Index 2018 yang dikeluarkan oleh OECD untuk 69 negara, Indonesia berada di urutan 67, setelah Arab Saudi dan Filipina. Jangankan Vietnam, bahkan Laos dan Myanmar pun rankingnya masih di atas Indonesia.

Baca juga: BKPM-Kemenkop UKM bersinergi perkuat UMKM hadapi COVID-19

Hal ini, lanjutnya, terjadi karena berbagai hal yang menjadi hambatan masuk dan operasional investor tidak kunjung dibenahi.

Andree melanjutkan beberapa hambatan yang terbilang paling sulit misalnya adanya pembatasan kepemilikan asing, susahnya mendatangkan tenaga ahli dari luar Indonesia, dan adanya pembatasan operasional, termasuk kepemilikan lahan.

"Semua ini adalah problem jangka panjang, jadi tidak bisa diatasi hanya dengan insentif pajak atau deal-deal khusus yang sifatnya jangka pendek. Selain itu, memberikan insentif pajak akan mengurangi pendapatan negara yang sedang sangat tertekan karena pandemi. Pendekatan langsung ke calon investor memang baik, tetapi kalau hambatan ini tidak cepat dibenahi, rasanya Indonesia sekali lagi akan di-bypass para investor," ucapnya.

Selain itu, ujar dia, penilaian kinerja satu pintu dan kinerja percepatan berusaha memang penting untuk memastikan reformasi terus berjalan dan mencegah kementerian/lembaga mengeluarkan peraturan yang bertentangan. Tantangannya adalah bagaimana evaluasi dilakukan secara terstruktur, berkala, dan terbuka.

Ia mengusulkan bahwa untuk pemerintah daerah, evaluasi ini sebaiknya bisa dibuat menjadi peringkat yang kemudian dipublikasikan setiap kuartal atau semester.
"Informasi ini bisa menjadi acuan bagi investor dalam tahap awal pemilihan lokasi dan sekaligus memacu persaingan yang sehat antar pemerintah daerah untuk meningkatkan peringkat kemudahan berusaha di daerah mereka," paparnya.

Baca juga: Bahlil usukan 6 strategi pemulihan investasi tahun 2021

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020