Seperti juga tahun-tahun sebelumnya, masyarakat tetap saja berjubel menyaksikan prosesi pelemparan kepala kerbau yang menjadi simbol tumbal kepala gajah putih itu oleh Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin.
"Tahun ini, tradisi nyadran digelar secara terbatas, mengingat kondisi pandemi yang belum usai," kata Bupati Nur Arifin.
Baca juga: 1.000 tenong warnai tradisi nyadran di Kembangsari Temanggung
Ia mengklaim keputusan mengurangi sebagian prosesi nyadranan, seperti arak-arakan, pagelaran wayang kulit dan hiburan tari jaranan cukup berhasil mengurangi jumlah pengunjung yang hadir.
Meski suasananya tetap meriah oleh warga, namun mereka disebut berasal dari daerah sekitar Dam Bagong. Tidak ada warga luar kota/daerah.
Sebagai pengganti arak-arakan yang meramaikan acara seperti biasanya, panitia hanya menggelar khotmil Qur’an, ziarah makam Adipati Minak Sopal, dan terakhir melarung kepala kerbau ke dasar Dam Bagong.
“Ini adalah hajat budaya kita, Nyadran Dam Bagong, sebagai bentuk syukur masyarakat di mana Allah telah memberikan rezeki," tutur Nur Arifin dalam pidato sambutannya menghadiri ritual adat tersebut.
"Air kita tidak kering, sawah-sawah bisa terairi, panenan lancar, kemudian masyarakat bersedekah lewat salah satunya membagikan daging kerbau kepada masyarakat sekitar,” imbuhnya.
Arifin berharap tradisi serta budaya yang telah mengakar di masyarakat terus lestari.
Menurutnya dengan menjaga tradisi, masyarakat akan tetap mengingat jasa-jasa para leluhur terdahulu.
“Kemudian kalau ada rezeki yang kita dapat ya kita bagikan, kita sedekahkan, seperti sedekah Nyadran di Dam Bagong ini," katanya. (*)
Baca juga: "Nyadran kali" tradisi yang jadi daya tarik lereng Sindoro
Baca juga: Masyarakat Bantul gelar tradisi `nyadran` jelang Ramadhan
Baca juga: Ritual larung untuk Raden Menak Sopal di Trenggalek
Pewarta: Destyan H. Sujarwoko
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020