• Beranda
  • Berita
  • Adaptasi kebiasaan baru, di Jepang tak boleh ciuman di bar

Adaptasi kebiasaan baru, di Jepang tak boleh ciuman di bar

21 Juli 2020 12:36 WIB
Adaptasi kebiasaan baru, di Jepang tak boleh ciuman di bar
Seorang pria berjalan melintasi papan reklame sebuah bar di distrik Kabukicho di Tokyo, Jepang, (14/7/2020) (REUTERS/Kim Kyung Hoon)
Pekerja malam di Jepang butuh pedoman tata cara agar tetap sehat dan terus bisa menjalankan bisnis di tengah pandemi virus corona (COVID-19), kata Shinya Iwamuro, seorang ahli urologi dan advokat kesehatan masyarakat yang telah mengajarkan langkah-langkah pengendalian infeksi di distrik Shinjuku Tokyo dan tempat hiburan malam lainnya dikutip dari Reuters, Rabu.

Para pegawai bar membutuhkan aturan praktis cara berinteraksi dengan pelanggan termasuk aturan tak boleh ciuman, tidak boleh berbagi tempat makan, dan berbicara harus dilakukan dengan sudut pandang tertentu guna menghindari kontaminasi droplet.

"Sedapat mungkin, ciumanlah hanya dengan pasangan, dan hindari ciuman yang dalam," kata Iwamuro dalam konferensi pers, menguraikan apa yang ia sebut sebagai "etiket berciuman".

Pengujian strategis di distrik kehidupan malam di Tokyo telah mengungkapkan meningkatnya kasus harian virus corona, terutama di antara orang-orang berusia 20-an dan 30-an.

Adanya cluster mendorong gubernur Tokyo untuk meningkatkan peringatan kota ke level "merah" tertinggi pada 15 Juli.

Baca juga: Bar dan restauran di Jepang kembali dibuka pascapelonggaran pembatasan

Baca juga: Pria Jepang wafat setelah ancam tularkan COVID-19 ke pub dan bar



Di Tokyo, kasus corona mendekati 300 dalam sehari pada akhir pekan lalu, pemerintah mengecualikan orang yang bepergian ke dan dari ibu kota dari kampanye pemerintah bernilai miliaran dolar yang bertujuan menghidupkan kembali pariwisata domestik.

Pemerintah juga mempertimbangkan untuk memperkuat tindakan tindakan khusus yang memungkinkannya untuk menyatakan keadaan darurat.

Media melaporkan Kepala Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga mengatakan bahwa mungkin ada lebih banyak pemeriksaan spot dari bisnis kehidupan malam.

Tetapi ada kekhawatiran bahwa kehidupan malam telah menjadi kambing hitam bagi kegagalan pemerintah untuk melacak dan mengendalikan penyakit ini.

Masayuki Saijo, direktur virologi di National Institute of Infectious Diseases, mengatakan tidak tepat untuk mendiskriminasi orang berdasarkan di mana atau kapan mereka bekerja.

"Tidak ada perbedaan, bekerja di malam hari atau bekerja di siang hari," kata Saijo. "Strategi untuk mengurangi infeksi manusia ke manusia adalah sama."

Lebih dari satu juta orang diperkirakan bekerja di industri ini, kata Kaori Kohga, perwakilan Asosiasi Bisnis Kehidupan Malam.

Kelompoknya telah menyusun peraturan keselamatan sendiri untuk anggotanya, termasuk mendisinfeksi mikrofon karaoke, karena mereka menganggap rekomendasi pemerintah, seperti memakai topeng dan jarak sosial dua meter, tidak praktis.

"Tidak ada yang akan berubah jika Anda hanya mengkritik kami sebagai orang jahat," kata Kohga, menambahkan pemerintah tidak mengakui aturan mereka atau menawarkan bantuan keuangan yang cukup untuk bisnis atau pekerja.

Sementara itu di Jakarta, hari ini ratusan pekerja tempat hiburan malam se-Jakarta melakukan unjuk rasa terhadap Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI yang dinilai mendiskreditkan mereka.

Dalam orasinya, mereka meminta Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan membuka kembali tempat hiburan malam agar mereka bisa kembali bekerja dan memenuhi kebutuhan hidup.

Baca juga: Setelah pandemi, wisatawan kini tak cuma pentingkan harga

Baca juga: Menara Eiffel akan dibuka, siap-siap naik tangga

Baca juga: Penumpang kereta di Tokyo bisa pantau kondisi gerbong lewat aplikasi

Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2020