Musim kemarau di wilayah Jawa Tengah bagian selatan khususnya Kabupaten Cilacap dan Banyumas diprakirakan akan berlangsung hingga September, kata Kepala Kelompok Teknisi BMKG Stasiun Meteorologi Tunggul Wulung Cilacap Teguh Wardoyo.Saat ini wilayah Cilacap dan Banyumas sudah memasuki musim kemarau
"Saat ini wilayah Cilacap dan Banyumas sudah memasuki musim kemarau. Tanda-tandanya bisa diamati oleh orang awam, antara lain angin sudah dominan bertiup dari arah timuran, hujan sudah mulai jarang, suhu udara pada malam dan pagi hari sudah terasa dingin, sudah muncul kabut di pagi hari, serta cuaca cenderung cerah dan menyengat karena sinar matahari langsung menyinari bumi tanpa terhalang awan," kata Teguh di Cilacap, Rabu.
Menurut dia, kondisi tersebut akan terus berlangsung dan pada bulan Agustus diprakirakan akan memasuki puncak musim kemarau.
Baca juga: BMKG: 16 alat penyebarluasan info gempa terpasang di Jateng
Ia mengatakan berdasarkan rilis yang dikeluarkan BMKG Stasiun Klimatologi Semarang, curah hujan pada Agustus di wilayah Jateng selatan khususnya Cilacap dan Banyumas diprakirakan rendah, yakni berkisar 21-100 milimeter per bulan.
"Hal itu merupakan prakiraan hujan terendah dari bulan sebelum dan setelahnya, sehingga bulan Agustus dikatakan sebagai puncak musim kemarau," jelasnya.
Lebih lanjut, Teguh mengatakan beberapa hal yang perlu diwaspadai saat musim kemarau adalah bahaya kekeringan yang dampaknya bisa berimbas ke kurangnya air bersih dan terjadinya kebakaran hutan.
Oleh karena itu, kata dia, daerah-daerah yang rawan kekeringan di wilayah Cilacap dan Banyumas perlu dilakukan antisipasi terutama terhadap pasokan air bersih yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat.
Baca juga: BMKG prakirakan Jateng selatan alami kemarau basah
Menurut dia, hal itu disebabkan musim kemarau di wilayah Cilacap dan Banyumas diprakirakan akan berlangsung hingga bulan September dan pada bulan Oktober diprakirakan memasuki awal musim hujan.
"Berdasarkan rilis prakiraan hujan tiga bulanan yang dikeluarkan BMKG Stasiun Klimatologi Semarang, curah hujan di wilayah Cilacap dan Banyumas pada Agustus diprakirakan masuk kategori rendah yang berkisar 21-100 milimeter, September masuk kategori rendah hingga menengah yang berkisar 51-151 milimeter, dan Oktober diprakirakan masuk kategori menengah yang berkisar 201-300 milimeter," katanya.
Terkait dengan suhu udara yang terasa dingin pada pagi dan malam hari, Teguh mengatakan kejadian suhu dingin itu diprakirakan akan normal sehingga tidak perlu dikhawatirkan masyarakat.
Baca juga: BMKG: Sejumlah wilayah di DIY berstatus siaga kekeringan meteorologis
Menurut dia, kemunculan kabut pada pagi hari saat musim kemarau merupakan sesuatu yang wajar dan lazim terjadi saat musim kemarau serta kabut tersebut juga menambah dingin suhu udara.
"Oleh karena puncak musim kemarau di wilayah Cilacap, Banyumas dan sekitarnya diprakirakan akan berlangsung pada bulan Agustus, suhu udara minimum pada malam dan pagi hari diprakirakan akan bertambah dingin. Hal ini memberi indikasi bahwa kejadian suhu dingin ini masih akan berlangsung hingga akhir Agustus bahkan awal September 2020," katanya.
Ia mengatakan berdasarkan hasil pengamatan di Stasiun Meterologi Tunggul Wulung dan Pos Pengamatan Cuaca Bandara Tunggul Wulung Cilacap, suhu udara minimum dalam beberapa hari terakhir tercatat berkisar 20,4 derajat Celcius hingga 24 derajat Celcius.
Baca juga: BMKG segera pasang alat perekam guncangan tanah di Jateng
Menurut dia, suhu udara minimum 20,4 derajat Celcius tercatat di Pos Pengamatan Cuaca Bandara Tunggul Wulung pada tanggal 26 Juli 2020.
"Suhu 20,4 derajat Celcius yang tercatat di Pos Pengamatan Cuaca Bandara Tunggul Wulung Cilacap belum menyamai rekor suhu udara paling minimum yang terjadi di Cilacap selama kurun waktu 45 tahun. Sejarah atau data statistik suhu minimum yang terkumpul mulai tahun 1975 sampai dengan akhir Juli 2020 , suhu paling minimum di Cilacap pernah terjadi pada tanggal 14 Agustus 1994 yang tercatat 17,4 derajat Celsius, saat itu suhu maksimum hanya 25,8 derajat Celcius dan rata-ratanya 22,9 derajat Celcius," jelasnya.
Ia mengatakan untuk wilayah dataran tinggi atau pegunungan, suhu udara akan lebih dingin dari pada suhu di wilayah pesisir. "Bila tidak ada alat ukur, bisa menghitung dengan laju penurunan suhu 0,5 derajat Celcius per kenaikan 100 meter ketinggian tempat," katanya.
Baca juga: BMKG: Baru 70 persen wilayah Jateng masuki kemarau
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020