"Ibu Susi melakukan perang melawan illegal fishing. Ibu Susi melawan kapal asing berkuasa di Indonesia. Unsur utamanya adalah memulihkan sumber daya laut. Tapi apa yang Indonesia dapatkan dari menjaga sumber daya laut ini? Apakah Indonesia mendapatkan perlakuan khusus untuk produk ikan Indonesia yang masuk ke pasar global karena pendekatan Indonesia menyelamatkan ekosistem ini? Jawabannya tidak. Produk ikan kita tetap dikenakan pajak yang mahal masuk pasar Eropa," kata Araujo, dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Tangkap ikan destruktif di Indonesia, Filipina naik selama COVID-19
Baca juga: Atasi "ilegal fishing" perkuat kelompok masyarakat pengawas perikanan
Ia mengatakan pertimbangan yang paling utama dalam mengelola pemerintahan khususnya sektor maritim adalah kita harus mengetahui posisi kita dalam permainan strategis global.
"Kami harus melihat dan menempatkan posisi kami di atas peta, mengukur kemampuan kami dan kekuatan kami, dan bagaimana memproyeksikan posisi kami dalam interaksi global atau regional, baik secara ekonomi maupun politik," kata dia.
Baca juga: Edhy Prabowo pastikan tidak ada ruang bagi penangkapan ikan ilegal
Baca juga: PSDKP: Enam nelayan Myanmar masih ditahan di Aceh
Araujo mengungkapkan Indonesia memiliki tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan selat-selat strategis untuk jalur perdagangan laut. Namun, pertanyaannya, untuk apa dilakukan penjagaan ketat yang memakai sumber daya manusia dan anggaran yang cukup besar pada wilayah strategis tersebut.
"Indonesia menghabiskan bertriliun-triliun untuk menjaga keamanan di beberapa alur laut tersebut dan selat-selatnya, apakah yang didapatkan Indonesia dari investasi yang begitu besar untuk menjaga wilayah laut tersebut? Mari kita hitung atau cek bersama," kata dia.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020