"Asesmen dalam kondisi khusus tidak berbeda dengan kondisi umum. Asesmen dilaksanakan berdasarkan prinsip valid, reliabel, adil, fleksibel dan memberikan umpan balik," ujar Totok dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Dia menambahkan saat kondisi khusus, prinsip adil dan fleksibel menjadi kritis. Asesmen yang dilakukan hendaknya mengakomodir keragaman akses, fasilitas, dukungan keluarga maupun kondisi lainnya.
Kemudian, saat terjadi relaksasi dalam pembelajaran, maka asesmen yang dilakukan dipastikan mampu mendiagnosa kemampuan siswa pada kompetensi yang bersifat penting.
Baca juga: Kemendikbud minta guru lakukan asesmen diagnostik kepada peserta didik
Baca juga: Mendikbud: asesmen kompetensi yang diukur sekolah bukan siswa
"Asesmen diagnostik tersebut dilakukan secara berkala mulai dari awal pembelajaran untuk memetakan siswa berdasarkan kemampuannya serta di akhir pembelajaran untuk mengetahui apakah pembelajaran yang dilakukan mampu dipahami oleh siswa atau tidak," ujar dia.
Totok menambahkan hasil asesmen tersebut dapat dimanfaatkan untuk memberikan pembelajaran tambahan yang bersifat afirmatif untuk siswa yang kemampuannya jauh tertinggal, merancang pembelajaran disesuaikan dengan kemampuan rata-rata siswa, dan melakukan perbaikan dan penguatan konsep pada topik yang penting saja.
"Kami mendorong guru untuk melakukan asesmen diagnostik pada setiap anak didiknya. Ini perlu untuk mengetahui capaian belajar anak pada situasi darurat atau masa khusus ini," ujar dia.
Totok menjelaskan bahwa asesmen diagnostik tidak hanya dilakukan untuk aspek kognitif, namun juga aspek non kognitif. Misalnya meminta anak memilih gambar simbol emosi yang sesuai dengan perasaannya dan meminta siswa membuat gambar atau cerita pendek tentang pengalamannya belajar di rumah. Asesmen itu penting untuk memastikan level kesejahteraan psikologis dan sosial emosional setiap siswa.*
Baca juga: Asesmen siswa di awal untuk bisa lakukan perbaikan, sebut Kemendikbud
Pewarta: Indriani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020