Tidak efektifnya regulasi yang sudah ada menunjukkan pemerintah gagal memaksimalkan potensi dari kedua sektor
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menilai pemerintah perlu memperjelas arah kebijakan pertembakauan nasional agar dapat menyelaraskan kepentingan industri dan kesehatan.
Pingkan dalam pernyataan di Jakarta, Selasa, mengatakan arah kebijakan ini penting karena penerbitan regulasi untuk memacu produksi daun tembakau belum membuahkan hasil.
Di sisi lain, lanjut dia, target untuk menurunkan prevalensi perokok juga tidak tercapai. Prevalensi perokok di Indonesia masih terbilang tinggi yaitu hampir 50 persen di atas prevalensi global.
"Tidak efektifnya regulasi yang sudah ada menunjukkan pemerintah gagal memaksimalkan potensi dari kedua sektor, seperti mendorong produksi daun tembakau maupun melindungi kesehatan masyarakat. Pemerintah perlu memperjelas arah kebijakan pertembakauan nasional," ujar Pingkan.
Baca juga: Pukat UGM dorong penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau
Ia menyampaikan berdasarkan data FAOSTAT 2017, Indonesia menjadi produsen daun tembakau terbesar keenam di dunia dengan jumlah produksi mencapai 152.319 ton.
Di tengah keterbatasan di bidang produksi, lanjut dia, industri tembakau tetap berkontribusi pada penyediaan lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak.
Namun, menurut dia, merokok tetap menjadi salah satu penyebab utama kematian dan penyakit serius di Indonesia karena pembakaran rokok menghasilkan tar.
Ia mengatakan, industri pengolahan tembakau secara tidak langsung berperan atas munculnya penyakit yang menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat.
"Pengeluaran untuk kesehatan yang terkait langsung dengan kebiasaan merokok di Indonesia berjumlah sekitar 1,2 miliar dolar AS per tahun. Sementara itu, kerugian ekonomi tidak langsung akibat konsumsi rokok mencapai 6,8 miliar dolar AS," paparnya.
Ia mengemukakan pemerintah berusaha mengendalikan konsumsi rokok lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 yang membatasi iklan dan promosi produk tembakau, melarang penjualan di bawah usia 18 tahun, dan mewajibkan informasi himbauan kesehatan pada kemasan.
Bab VI dalam peraturan itu, lanjut dia, juga mengatur program kesadaran masyarakat yang bertujuan untuk menurunkan ketertarikan konsumen untuk merokok, mengingat Indonesia kini juga dihadapkan pada kenaikan angka perokok di bawah umur.
Baca juga: Roadmap simplifikasi dinilai jadi solusi kompleksitas cukai tembakau
Sementara itu, Peneliti Center for Health Economic dan Policy Studies (CHEPS) Prof. Hasbullah Thabrany mengatakan, perbedaan paradigma antar institusi dan pejabat membuat penanganan isu tembakau menjadi semakin pelik.
"Perlu adanya pemahaman yang komprehensif karena penanganan isu tembakau melibatkan beberapa sektor, seperti pertanian, industri dan kesehatan," katanya.
Ia merekomendasikan penggunaan 5-10 persen dari hasil cukai tembakau untuk memberikan pelatihan dan pendampingan kepada petani dan pekerja tembakau untuk berpindah kepada komoditas dan industri lain yang juga menguntungkan tetapi tidak merusak kesehatan.
"Kontribusi cukai rokok yang besar bukan berasal dari industri rokok, melainkan dari para perokok. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang mampu mengakomodir kepentingan industri dan kesehatan. Untuk kesehatan, PP 109 perlu diperkuat karena selama ini penegakan hukumnya lemah," tegasnya.
Baca juga: Peneliti: Simplifikasi tarif CHT perlu kedepankan kesehatan masyarakat
Baca juga: Kemenkes: Perlu intervensi holistik-komprehensif kendalikan tembakau
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2020