Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR pada 25 Agustus 2020, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen menyatakan dengan jelas bahwa MPAM telah melanggar peraturan-peraturan OJK sehingga dijatuhkan sanksi pembubaran dan likuidasi atas keenam produk reksadananya.
"Hal ini menunjukkan secara jelas kasus MPAM adalah kasus pelanggaran yang terjadi di tahun 2019 sehingga dibubarkan dan dilikuidasi oleh OJK. Dan, sama sekali bukan kasus gagal bayar seperti yang marak terjadi di tahun 2020," kata salah satu nasabah korban Minna Padi, Neneng, dalam pernyataan di Jakarta, Jumat.
Neneng menilai MPAM menjadikan sanksi tersebut sebagai alasan untuk tidak membayar kepada nasabah-nasabah walaupun peraturan OJK yang dipakai sebagai dasar pembubaran sudah jelas dimana MPAM diharuskan membayar nasabah dengan nilai aktiva bersih (NAB) pembubaran paling lambat dalam tujuh hari bursa setelah pembubaran, yang berarti selesai di awal Desember 2019.
"Meskipun OJK sudah dikabarkan berulang kali akan tidak dijalankannya peraturan OJK sendiri tersebut, tapi OJK tetap diam saja. Di sini lah yang menjadi inti permasalahnya," ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Neneng, nasabah meminta tanggung jawab nyata dari OJK sesuai dengan peraturan-peraturan yang dibuat OJK sendiri dan juga UU Perlindungan Konsumen.
Pertama, POJK No 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, khususnya Pasal 29 yang tertulis "Pelaku usaha jasa keuangan wajib bertanggung jawab atas kerugian konsumen yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian pengurus, pegawai pelaku usaha jasa keuangan dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan pelaku usaha jasa keuangan."
Menurut Neneng, OJK dengan prinsip keterbukaan informasi seharusnya mengumumkan secara resmi dan jelas bukti dan kesalahan MPAM.
"Hal ini sangat penting, apabila ada proses hukum di kemudian hari yang disebabkan kerugian antara NAB pembubaran dengan jumlah dana nasabah. Juga seharusnya OJK yang membuat laporan akibat kerugian tersebut, sesuai dengan prinsip perlindungan konsumen," kata Neneng.
Kedua, POJK NO.23/POJK.04/2016 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, khususnya Pasal 47b. yang tertulis "Menginstruksikan kepada bank kustodian paling lambat dua hari bursa sejak diperintahkan Otoritas Jasa Keuangan, untuk membayarkan dana hasil likuidasi yang menjadi hak pemegang unit penyertaan dengan ketentuan bahwa perhitungannya dilakukan secara proporsional dari nilai aktiva bersih pada saat pembubaran dan dana tersebut diterima pemegang unit penyertaan paling lambat tujuh hari bursa sejak likuidasi selesai dilakukan."
"Kami juga berpendapat bahwa OJK telah melakukan tindakan-tindakan yang merugikan nasabah dengan berkompromi dan mengijinkan MPAM menangguhkan pembayaran," ujar Neneng.
Ketiga, POJK NO.10/POJK.04/2018 tentang Penerapan Tata Kelola Manajer Investasi, khususnya Pasal 26 tertulis "(1) Setiap anggota dewan komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian manajer investasi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya. (2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota dewan komisaris."
"Pada 5 Agustus 2020 Edy Suwarno selaku pemegang saham MPAM dan isterinya, Eveline Listijosoputro, selaku Komisaris MPAM, mengajukan PKPU untuk diri sendiri ke PN Jakarta Pusat. Dalam dua hari kerja, permohonan PKPU ini langsung dikabulkan yaitu, tanggal 10 Agustus 2020. Apakah ini juga upaya yang dilakukan untuk menghindari kewajiban hukum pribadi mereka berdua?" kata Neneng.
Dari ketiga POJK tersebut dan kenyataan yang terjadi sampai saat ini, nasabah-nasabah korban MPAM meminta bahwa seharusnya OJK mengambil tindakan-tindakan yang sesuai dengan hukum dan aturan yang berlaku, serta tidak membuat kompromi-kompromi dengan MPAM yang hasilnya merugikan semua nasabah.
Baca juga: Nasabah Minna Padi minta OJK bantu percepat pembagian saham likuidasi
Baca juga: Nasabah Minna Padi tunggu kelanjutan pencairan dana investasi
Baca juga: Cari solusi, nasabah Minna Padi datangi Komisi XI DPR
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020