Minuman berenergi memang menyegarkan apalagi kalau dinikmati di siang hari panas, segelas minuman energi dingin selain melepas dahaga juga menambah tenaga membuat siap menjalani aktivitas lebih berseri.Kalau harus bayar, kerja apa yang bisa mengumpulkan uang sebanyak itu
Dalam berbagai iklannya juga digambarkan minuman berenergi identik dengan potret pria sejati, maskulin, jantan, tangguh dan bertenaga siap bekerja keras.
Namun, terlalu banyak menenggak minuman berenergi ternyata menimbulkan dampak yang fatal karena dibalik kenikmatannya tersebut ada petaka yang mengancam ginjal.
Karena keranjingan menikmati minuman berenergi setiap hari membuat Handikha Pratama yang baru berusia 19 tahun didiagnosis dokter gagal ginjal dan terpaksa harus menjalani cuci darah dua kali sepekan selama lima jam per sesi.
Awal mula kisah Handikha didiagnosis gagal ginjal terjadi ketika selepas menyelesaikan sekolah di salah satu SMK di Kota Padang memutuskan merantau dan bekerja di salah satu perusahaan swasta di Duri, Provinsi Riau.
Bekerja sebagai pembersih sumur minyak membuat ia merasa butuh energi untuk bekerja. Dalam seminggu ia hanya bekerja empat hari dan saat tengah hari istirahat siang satu cerek minuman energi menjadi teman.
Usai bekerja di sore hari untuk memulihkan tenaga ia kembali meneguk minuman berenergi.
"Di tempat saya bekerja kebanyakan orang memang minum minuman energi, jadi semacam penambah tenaga apalagi kalau sudah capek, badan jadi segar lagi," kata Handikha.
Ia bersama teman teman kerja biasa membuat minuman energi satu termos dengan komposisi lima sachet minuman berenergi untuk dinikmati bersama.
Satu tahun bekerja dan larut dalam aktivitas akhirnya Handikha pada suatu hari mengalami demam tinggi yang membuat harus dilarikan ke rumah sakit.
Tak hanya panas badannya pun bengkak dari kaki hingga ke muka sehingga harus dirawat hingga tiga minggu lamanya di Pekanbaru.
Hasil pemeriksaan dokter ditemukan ada batu ginjal dan kadar urin kratin sudah teramat tinggi sehingga tak ada jalan lain kecuali harus cuci darah rutin.
Akhirnya karena tidak ada keluarga di Riau, Handikha memutuskan untuk kembali ke Padang dan dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat M Djamil.
Karena kurang yakin ia pun berupaya mencari dokter pembanding dan akhirnya memutuskan ke RS BMC Padang.
"Di RS BMC saya tetap diputuskan harus cuci darah, tidak ada jalan lain," katanya.
Sementara ibunda Handikha, Natalis saat mendapat kabar putranya dinyatakan gagal ginjal berharap anaknya bisa sembuh.
Perempuan yang sehari-hari beraktivitas sebagai buruh harian rumah tangga berjuang untuk kesembuhan Handikha dan rela bekerja apa saja.
Ia menceritakan Handikha merupakan tulang punggung keluarga karena sejak kecil sudah ditinggal bapaknya sehingga rela bekerja untuk ibu dan adiknya yang masih sekolah.
"Handikha pamit bekerja ke Duri, Riau, bunda tidak usah bekerja lagi, biar saya yang kerja, ambil semua uangnya," kata Natalia .
Namun asyik bekerja tiga tahun putra sulungnya lalai mengurus diri sehingga akhirnya berujung pada gagal ginjal.
Baca juga: BPJS Kesehatan berkoordinasi untuk menekan angka persalinan caesar
Baca juga: Peserta JKN-KIS bisa manfaatkan cicilan tunggakan iuran melalui BRI
Ditanggung BPJS Kesehatan
Handikha termasuk beruntung sejak awal sakit, dirawat hingga tiga minggu di RS di Pekanbaru hingga saat ini menjalani cuci darah rutin dua kali seminggu tidak mengeluarkan biaya karena ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
"Kalau harus bayar, kerja apa yang bisa mengumpulkan uang sebanyak itu, sekali cuci darah saja Rp1 juta, dua kali seminggu, delapan kali sebulan jadi Rp8 juta, itu baru cuci darah saja," ujarnya.
Selama menjalani cuci darah pun ia tidak mengalami kendala dan menerima pelayanan yang baik dari tenaga medis di RS BMC Padang.
Ia bersyukur dengan adanya BPJS Kesehatan bisa terbantu dan semua itu berkat gotong royong dari iuran semua peserta yang ada.
Kini yang bisa ia lakukan adalah berupaya menjaga pola hidup sehat dan jangan sampai terlambat melaksanakan cuci darah setiap Rabu dan Sabtu.
"Saya mengucapkan terima kasih kepada peserta lain yang mungkin belum pernah mengunakannya, ini bentuk solidaritas kemanusiaan," ujarnya.
Sementara Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (Unand) Padang dr Fitrisia Amelin, Sp.A, M Biomed menilai peluang terjadinya gagal ginjal pada usia dini tetap terbuka disebabkan oleh penyakit bawaan sejak lahir.
"Misalnya ada infeksi kantong kemih karena sering menahan kencing, gangguan sejak lahir atau dapat juga karena kurang minum," ujarnya.
Ia menyampaikan gagal ginjal tidak hanya dapat menimpa orang dewasa dan jika gaya hidup tidak sehat dapat saja menimpa anak hingga remaja.
Selain itu penggunaan obat tertentu juga dapat membahayakan ginjal termasuk obat herbal jika dosisnya berlebihan.
Oleh sebab itu ia berpesan agar para orang tua memastikan anaknya cukup asupan minuman dan gizi.
Merintis Usaha
Usai didiagnosis gagal ginjal dan harus cuci darah dua kali sepekan Handikha memutuskan untuk kembali ke Padang dan pada awalnya sempat bekerja di bengkel.
Namun karena bekerja dengan orang lain dan kondisi fisiknya tidak sekuat dulu membuat ia terkendala untuk bisa bekerja maksimal.
Akhirnya ia pun memutuskan merintis usaha akuarium yang diberi nama Queen Betta Padang. Berkat salah seorang guru yang mengajari cara membuat akuarium kini usahanya sudah dikenal luas dan kerap menerima berbagai pesanan hingga luar Padang.
"Kalau bekerja dengan orang capek tidak bisa istirahat, kalau usaha sendiri bisa ditinggal tidur," kata Handikha.
Sebelum pandemi setiap pekan ia selalu mendapatkan pesanan pembuatan akuarium namun setelah COVID-19 usahanya pun terdampak karena sepi pesanan.
Ia pun menjajakan akuariumnya lewat media sosial instagram hingga facebook dengan akun Queen Betta Padang.
Meski di usia terbilang muda didiagnosis gagal ginjal dan menjalani cuci darah dua kali sepekan semangatnya menjalani hidup tetap membara dan optimistis bersama sang bunda tercinta yang setia menemani.
Baca juga: Pedagang di Surabaya bersyukur jalani operasi prostat dijamin JKN
Baca juga: Warga Desa Girimulya Bandung rasakan manfaat JKN-KIS
Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020