Kebijakan reduksi emisi yang sedang dijalankan pemerintah saat ini belum tepat, contohnya pengembangan energi baru terbarukan (EBT) memakai biofuel.
Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Kiki Taufik menyebut emisi karbon dioksida (CO2) dari proses produksi biodiesel yang berasal dari kelapa sawit lebih besar ketimbang bahan bakar minyak (BBM) dari fosil.
Dalam Forum Editorial the Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) membahas “Build Back Better: Bangkit dari Krisis dengan Pembangunan Rendah Karbon di Sektor Kehutanan” secara daring di Jakarta, Sabtu, ia mengatakan kebijakan reduksi emisi yang sedang dijalankan pemerintah saat ini belum tepat, contohnya pengembangan energi baru terbarukan (EBT) memakai biofuel.
Ia menyebut nilai emisi karbon dioksida dari pembakaran satu liter biodiesel 38 persen lebih kecil dibandingkan dengan pembakaran minyak solar.
Berdasarkan data Kementerian Energi Sumbe Daya Mineral (ESDM) tahun 2018, implementasi program B20 di tahun 2017 dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) senilai 3,84 juta ton CO2, atau setara penggunaan biofuel 13.392 bus kecil.
Namun demikian, menurut dia, nilai emisi jejak karbon atau carbon footprint yang dihasilkan dari kelapa sawit di Indonesia sampai menjadi biodiesel lebih besar dibandingkan bahan bakar fosil, selain koneksi dengan isu HAM di industri sawit.
Untuk memenuhi produksi B100, ia mengatakan membutuhkan produksi 10,58 juta ton crude palm oil (CPO), dan penambahan sekitar 3,78 juta hektare (ha) luas lahan.
Karena itu, menurut dia, kebijakan reduksi emisi karbon di Indonesia masih belum tepat. Untuk memenuhi Tujuan Pembangunan Bekelanjutan (SDG) dan Nationally Determined Contribution (NDC), pemerintah memang mengacu kepada dua titik untuk merendahkan emisi, yakni hutan dan transportasi.
Namun, kata dia, pemilihan biofuel yang berasal dari minyak sawit yang masih termasuk komoditas yang ekstraktif untuk mendefinisikan EBT tidaklah tepat.
Dari data Kementerian ESDM tahun 2019, Indonesia memiliki potensi EBT dari surya sebesar 207,9 Gigawatt (GW), sementara pemanfaatannya baru mencapai 0,9 GW. Untuk energi bayu atau angin, Indonesia memiliki potensi sebesar 60,6 GW, namun pemanfaatannya baru mencapai 0,076 GW.
Diakui komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi karbon bagusnmamun pengimplementasiannya yang masih harus menjadi perhatian, demikian Kiki Taufik.
Baca juga: Pemerintah antisipasi lonjakan emisi saat pemulihan ekonomi nasional
Baca juga: Greenpeace Dorong Indonesia Kukuh Kurangi Emisi
Baca juga: DDPI harapkan pengurangan emisi karbon sesuai target
Baca juga: KLHK arahkan komitmen pengurangan emisi ke sektor energi
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2020