"Saya mengamati demonstrasi di berbagai daerah tidak lagi murni sebagai sebuah gerakan yang lahir dari kesadaran kolektif rakyat untuk memperjuangkan aspirasi," katanya ketika dihubungi di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin.
Ia mengatakan hal itu menanggapi demonstrasi di berbagai daerah di Tanah Air untuk menolak Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan DPR RI.
Baca juga: Polisi: Aksi unjuk rasa di Kupang langgar protokol kesehatan
Tuba Helan mengatakan demonstrasi tersebut sudah tidak murni memperjuangkan sebuah aspirasi karena orang yang berdemo tidak mengetahui hakikat dari aspirasi yang diperjuangkan.
"Ada pendemo yang diwawancarai, ketika ditanya kenapa melakukan demo mereka hanya jawab karena merugikan, lalu ditanya ketentuan mana yang merugikan mereka tidak tahu yang penting merugikan," katanya.
"Di sisi lain ada pendemo yang mengaku dibayar untuk hadir mengikuti demonstrasi sehingga menurut saya aksi ini tidak lagi murni," kata Tuba Helan.
Baca juga: Warga khawatir demonstrasi munculkan klaser baru COVID-19 di Kupang
Dosen Fakultas Hukum Undana Kupang itu mengatakan demonstrasi yang muncul di berbagai daerah yang di antaranya berujung aksi anarki merupakan hal yang aneh karena sebenarnya ada saluran yang tersedia bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan yakni melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja ini, lanjut dia, terlihat sebagai kepentingan para elit yang tidak bisa diperjuangkan melalui jalur konstitusional kemudian dengan cara-cara mengerahkan massa untuk mengganggu jalannya negara.
"Sebenarnya sudah ada jalur yang tersedia yaitu judicial review di Mahkamah Konstitusi kalau merasa dirugikan supaya demokrasi kita berjalan tertib dan aman, tapi ini kok malah anarkis, merusak berbagai fasilitas publik," katanya.
Baca juga: Polisi di Kupang alami luka ringan saat amankan unjuk rasa
Oleh karena itu, kata Tuba Helan, negara perlu menindak tegas pelaku-pelaku anarki maupun oknum atau pihak di balik itu yang menggerakkan aksi massa tersebut.
Pewarta: Aloysius Lewokeda
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020