Ideologi Pancasila merupakan ideologi yang menjadi dasar atau landasan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila harus diterapkan dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Presiden RI Joko Widodo dalam peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2020 silam menyatakan bahwa Pancasila menjadi bintang penjuru untuk menggerakkan persatuan bangsa dalam mengatasi segala tantangan.
Selain itu Pancasila juga menggerakkan kepedulian seluruh insan di Tanah Air untuk saling berbagi, memperkokoh persaudaraan dan kegotongroyongan untuk meringankan beban seluruh anak negeri, dan menumbuhkan daya juang dalam mengatasi setiap kesulitan dan tantangan yang dihadapi.
Ideologi Pancasila terbukti mampu menjaga persatuan bangsa ditengah keberagaman suku, agama dan budaya yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, ideologi Pancasila harus terus dijalankan dan dirawat setiap insan di Tanah Air, agar tidak hilang ditelan zaman.
Perspektif pembangunan bangsa dari segala sektor untuk mewujudkan Indonesia maju, juga harus dilakukan tanpa melupakan upaya-upaya merawat ideologi Pancasila.
Dalam sebuah diskusi terkait Institusionalisasi Pancasila Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, di Provinsi Jawa Barat beberapa waktu lalu, mengemuka isu mengenai pentingnya penanaman ideologi Pancasila yang dilakukan secara terus-menerus kepada generasi milenial.
Generasi milenial sebagai generasi penerus, bakal memegang kendali pemerintahan setidaknya pada 2045, tahun di mana Indonesia diproyeksikan akan mencapai masa Indonesia Emas.
Jika tidak terus ditanamkan, ideologi Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa yang selama ini menghindarkan bangsa Indonesia dari perpecahan, dapat hilang tergerus budaya asing, di tengah masifnya informasi yang masuk ke Tanah Air, sebagai imbas geliat perkembangan media sosial.
Apabila rasa nasionalisme, kebangsaan dan patriotisme yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila tidak ada di benak generasi milenial, maka Indonesia bisa saja mengalami perpecahan di masa-masa akan datang.
Sudah cukup banyak contoh kehancuran sebuah bangsa akibat perpecahan. Uni Soviet salah satunya. Kehancuran negara Uni Soviet tercipta karena lunturnya rasa nasionalisme generasi muda.
Tongkat estafet nasionalisme yang tidak diturunkan sempurna kepada generasi berikutnya, akan menjadi penyebab kehancuran sebuah bangsa. Dalam hal ini, Bangsa Indonesia sangat beruntung memiliki ideologi Pancasila sebagai warisan dari para pendiri bangsa yang perumusannya telah melalui jalan sejarah yang cukup panjang, hingga menjadi kesepakatan bersama seluruh insan di Tanah Air.
Ideologi ini mampu menjaga rasa nasionalisme yang kuat sekaligus mencegah terjadinya perpecahan.
Baca juga: Kemendikbud siapkan SDM unggul melalui Pelajar Pancasila
Sejarah Pancasila
Upaya dan kesadaran untuk merawat ideologi Pancasila, akan lebih mudah dilakukan dengan memahami sejarah lahirnya Pancasila itu sendiri. Dengan memahami sejarah, akan muncul kesadaran dan kepedulian menjaga amanah pendiri bangsa.
Pancasila adalah pilar ideologis negara Indonesia. Pancasila terdiri dari dua kata dari sansekerta: panca artinya lima dan sila berarti prinsip atau asas. Sehingga Pancasila secara harfiah merupakan lima prinsip atau asas yang disepakati menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima ideologi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sejarah lahirnya Pancasila dimulai pada pada tanggal 1 Maret 1945 dengan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat.
Badan ini bertugas mempersiapkan kemerdekaan Indonesia pada saat itu. Dalam pidato pembukaannya, dr. Radjiman antara lain mengajukan pertanyaan kepada anggota-anggota sidang menyoal dasar negara yang akan diterapkan di Indonesia apabila merdeka.
Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam sesi pertama persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei-1 Juni 1945.
Yang pertama adalah usulan Lima Dasar yang dikemukakan Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Muhammad Yamin merumuskan Lima Dasar yakni Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat.
Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia.
Selain Yamin, Soepomo Pada tanggal 31 Mei 1945, juga ikut menyampaikan rumusan dasar negara, tanpa menyertai nama dasar negara tersebut. Rumusan dasar versi Soepomo yakni Persatuan, Kekeluargaan, Keseimbangan lahir dan batin, Musyawarah, Keadilan rakyat.
Sementara selain kedua tokoh, Soekarno juga mengusulkan dasar negara Pancasila, yang diutarakan pada tanggal 1 Juni 1945 dalam pidato spontannya yang kemudian dikenal dengan judul Lahirnya Pancasila.
Pada saat itu rumusan Pancasila yang dikemukakan Soekarno berisi yakni Kebangsaan Indonesia atau nasionalisme, Kemanusiaan atau internasionalisme, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, serta Ketuhanan yang berkebudayaan.
Berikut pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 yang menyebut kata Pancasila:
Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.
Akhirnya sebelum sidang pertama BPUPKI itu berakhir, dibentuk suatu panitia kecil untuk melaksanakan sejumlah hal yakni Merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar Negara berdasarkan pidato yang diucapkan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945; Menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan Indonesia Merdeka.
Dari panitia kecil itu dipilih sembilan orang yang dikenal dengan Panitia Sembilan, untuk menyelenggarakan tugas tersebut. Rencana mereka itu disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 yang kemudian diberi nama Piagam Jakarta.
Rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta berisi yakni Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun setelah melalui berbagai pemikiran, demi menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Soekarno segera menghubungi Muhammad Hatta dan keduanya menemui wakil-wakil golongan Islam untuk membahas penghapusan poin pertama Piagam Jakarta.
Semula, wakil golongan Islam, di antaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul penghapusan itu.
Namun setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” demi keutuhan Indonesia.
Kemudian pada 18 Agustus 1945 usul penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikemukakan dalam rapat pleno Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Sejak saat itu Pancasila menjadi sebuah ideologi yang mempersatukan bangsa selama 75 tahun terakhir.
Perjalanan panjang dilahirkannya Pancasila ini, harus dipahami setiap warga negara, sehingga setiap individu di Tanah Air memahami pentingnya nilai-nilai Pancasila sebagai pemersatu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca juga: BPIP miliki tugas berat pastikan perundang-undangan sejalan Pancasila
Pembentukan BPIP
Upaya-upaya aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sejatinya terus dilakukan pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah bahkan memandang perlunya dilakukan pembinaan ideologi Pancasila terhadap seluruh penyelenggara negara yang terencana, sistematis, dan terpadu.
Sehingga pada 19 Mei 2017, Presiden RI Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).
Dalam perjalanannya, UKP-PIP dirasa perlu disempurnakan dan direvitalisasi organisasi maupun tugas dan fungsinya dan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 perlu diganti dalam rangka penguatan pembinaan ideologi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Atas dasar pertimbangan tersebut, pada tanggal 28 Februari 2018, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Dengan revitalisasi dari bentuk unit kerja menjadi bentuk badan, diharapkan BPIP akan tetap eksis walaupun pemerintahannya terus berganti. Dan dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018, maka Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
BPIP adalah lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, yang memiliki tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan.
BPIP juga bertugas melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya.
Keberadaan BPIP boleh dibilang sangat krusial dalam menjaga eksistensi ideologi Pancasila. Upaya menjaga ideologi Pancasila ini harus terkoordinasi di bawah satu badan khusus agar selaras.
Persoalannya, tugas BPIP menjadi berat lantaran masih kurangnya sumber daya manusia. Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi menyampaikan BPIP hanya memiliki sedikitnya 200 personel.
Jumlah itu sangat sedikit jika dibandingkan tugas besar yang diembannya. Dia menyontohkan, dalam upaya memastikan seluruh peraturan perundang-undangan selaras dengan ideologi Pancasila saja, BPIP terganjal keterbatasan SDM.
Dari total 200 personel BPIP, hanya sedikit di antaranya yang memiliki tupoksi dalam bidang hukum. Sementara jumlah peraturan perundang-undangan bisa bertambah ratusan setiap tahunnya.
Data Badan Pusat Statistik 2014-2016, terdapat 438 perda baru setiap tahun. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan berapa ribu perda yang dihasilkan seluruh daerah di Indonesia per tahun.
Yudian mengatakan sebelum kewenangan Kementerian Dalam Negeri dalam membatalkan Perda dicabut oleh MK pada 2017, pemerintah pernah membatalkan lebih dari 3.143 perda bermasalah.
Sebagai jalan tengah, di tengah keterbatasan personel, BPIP kemudian berfokus pada aspek preventif, dengan mendorong institusionalisasi Pancasila sejak pra dan proses perumusan dan perancangan UU.
Dengan demikian diharapkan seluruh peraturan perundang-undangan yang diterbitkan dapat dipastikan sejalan dengan ideologi Pancasila. Adapun upaya-upaya yang dilakukan BPIP ini harus didukung pula dengan aspek penegakan hukum yang adil dan tidak tebang pilih.
Penegakan hukum ini menjadi pilar utama tegaknya ideologi Pancasila. Upaya aktualisasi nilai Pancasila yang dilakukan akan sia-sia manakala penegakan hukum tidak adil.
Selain itu upaya merawat ideologi Pancasila juga harus menjadi kesadaran bersama seluruh insan di Tanah Air. Upaya merawat ideologi Pancasila sudah semestinya dimulai sejak dini dan dari tatanan terbawah dengan cara membudayakan penanaman nilai-nilai Pancasila baik itu di lingkup keluarga, lingkungan RT/RW, pendidikan usia dini, taman kanak-kanak dan seterusnya.
Baca juga: MPR: Nilai-nilai Pancasila diambil dari bangsa Indonesia
Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020