Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan tarif cukai rokok tahun depan naik sebesar 12,5 persen yang diberlakukan sesuai dengan visi dan misi Presiden Joko Widodo untuk menekankan sumber daya manusia (SDM) maju serta Indonesia unggul.Kita akan naikkan cukai rokok sebesar 12,5 persen. Kebijakan ini merupakan komitmen kita untuk terus berupaya menyeimbangkan berbagai aspek dari cukai hasil tembakau (CHT)
“Kita akan naikkan cukai rokok sebesar 12,5 persen. Kebijakan ini merupakan komitmen kita untuk terus berupaya menyeimbangkan berbagai aspek dari cukai hasil tembakau (CHT),” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis.
Menkeu merinci untuk industri yang memproduksi sigaret putih mesin (SPM) golongan I naik 18,4 persen, sigaret putih mesin golongan II A naik 16,5 persen, dan sigaret putih mesin naik II B naik 18,1 persen. Kemudian untuk sigaret kretek mesin (SKM) golongan I naik 16,9 persen, sigaret kretek mesin II A naik 13,8 persen, dan sigaret kretek mesin II B naik 15,4 persen.
Sementara itu, kata Sri Mulyani, untuk industri sigaret kretek tangan tarif cukainya tidak berubah atau tidak dinaikkan yang artinya kenaikannya nol persen karena memiliki unsur tenaga kerja terbesar.
“Dengan komposisi tersebut maka rata-rata kenaikan tarif cukai adalah 12,5 persen,” ujarnya.
Baca juga: Sri Mulyani sebut 5 pertimbangan naikkan cukai rokok
Baca juga: Kemenkeu tetapkan catridge rokok elektrik sebagai barang kena cukai
Menkeu mengatakan, pemerintah tidak melakukan simplifikasi golongan karena strategi yang diterapkan adalah pengecilan celah tarif antara SKM golongan II A dengan SKM golongan II B serta SPM golongan II A dan SPM golongan II B.
“Jadi meski kita tidak melakukan simplifikasi secara drastis atau menggabungkan golongan tapi kami memberikan sinyal ke industri bahwa celah tarif antara II A dan II B untuk SKM maupun SPM semakin diperkecil atau didekatkan tarifnya,” jelasnya.
Sri Mulyani mengatakan untuk besaran harga banderol atau harga jual eceran di pasaran adalah sesuai dengan kenaikan dari tarif masing-masing kelompok tersebut.
Ia menjelaskan berbagai kebijakan tersebut dilakukan dalam rangka mengendalikan konsumsi produk hasil tembakau karena dalam RPJMN preferensi merokok khususnya usia 10 sampai 18 tahun ditargetkan turun 8,7 persen pada 2024.
“Kenaikan CHT akan menyebabkan rokok menjadi lebih mahal atau affordability index naik dari tadinya 12,2 persen menjadi antara 13,7 hingga 14 persen sehingga makin tidak terbeli,” katanya.
Tak hanya itu, kebijakan dilakukan juga dalam rangka menjaga 158.552 tenaga kerja di pabrik rokok langsung terutama yang terkonsentrasi pada industri rokok kretek tangan.
Selain itu, pemerintah turut menjaga dari sisi petani penghasil tembakau dengan jumlah 526.389 keluarga atau setara 2,6 juta orang yang bergantung pada pertanian tembakau.
“Besaran kenaikan tarif cukai memperhatikan tingkat serapan tembakau dari petani lokal dengan demikian 526 ribu kepala keluarga yang menggantungkan hidup dari pertanian tembakau bisa tidak terancam oleh kenaikan CHT,” katanya.
Pemerintah turut mempertimbangkan aspek industri yaitu kebijakan bagi UMKM akan diberikan pemihakan melalui alokasi dana bagi hasil (DBH) CHT terutama untuk pembentukan kawasan industri hasil tembakau KIHT yang bertujuan memberikan lokasi bagi UMKM sekaligus mengawasi peredaran rokok ilegal.
“Kalau harga rokok dan CHT semakin tinggi maka memberikan insentif bagi masyarakat memproduksi rokok ilegal yakni rokok yang diproduksi dan diedarkan tidak legal dengan tidak bayar cukai. Semakin tinggi cukainya maka insentif melakukan tindakan ilegal semakin tinggi,” jelasnya.
Baca juga: Bea Cukai dan Satpol PP Lumajang amankan ribuan rokok ilegal
Baca juga: 3 juta rokok ilegal senilai Rp2 miliar dimusnahkan Bea Cukai Madura
Baca juga: Bea Cukai Jatim 2 sita ratusan ribu batang rokok ilegal
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2020