• Beranda
  • Berita
  • Ketenagakerjaan 2020: Dampak pandemi, BSU dan UU Cipta Kerja

Ketenagakerjaan 2020: Dampak pandemi, BSU dan UU Cipta Kerja

28 Desember 2020 16:35 WIB
Ketenagakerjaan 2020: Dampak pandemi, BSU dan UU Cipta Kerja
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah (tengah) menyerahkan bantuan kepada warga di Desa Grinting, Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (6/11/2020). Kunjungan tersebut dalam rangka melihat secara langsung penyaluran sembako dan Bantuan Subsidi Upah (BSU) untuk pekerja atau buruh (ANTARA FOTO/Umarul Faruq/wsj)

menambah insentif bagi tumbuhnya usaha dan investasi di Indonesia

Dalam pelantikannya sebagai Menteri Ketenagakerjaan di Kabinet Indonesia Maju pada 23 Oktober 2019, Ida Fauziyah menekankan bahwa sesuai visi dan misi Presiden Joko Widodo, kementeriannya akan fokus mendorong penciptaan dan perluasan lapangan pekerjaan.

Prospek tampak cerah saat itu dengan munculnya tren positif ketika tingkat pengangguran terbuka turun sampai 4,9 persen pada Februari 2020 dibandingkan 5,01 persen di periode yang sama pada 2019, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Namun, munculnya kasus COVID-19 pertama di Indonesia pada pertengahan Maret 2020 mengubah warna di sektor ketenagakerjaan sepanjang 2020, mengakibatkan rangkaian peristiwa yang berdampak pada pekerja dan dunia usaha.

Semuanya dimulai dengan pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di DKI Jakarta, yang merupakan pusat ekonomi Indonesia, dan penutupan beberapa daerah yang menyusul setelahnya.

Tidak lama kemudian, hampir di seluruh Indonesia mulai memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat dengan maksud menekan angka penularan.

Salah satu yang terjadi adalah di mana kantor sempat tidak beroperasi sama sekali dan para pekerja harus mulai bekerja dari rumah. Semua transportasi dibatasi secara ketat baik jumlah pengguna maupun jam operasionalnya.

Pertengahan tahun, pemerintah kemudian mulai melonggarkan pembatasan dengan memberlakukan kuota pekerja yang dapat hadir di kantor dan penambahan jam transportasi, meski jumlah pengguna tetap dibatasi.

Namun pandemi yang memburuk dengan angka konfirmasi yang terus bertambah, mencapai lebih dari 600.000 kasus terkonfirmasi jelang akhir Desember 2020, membuat kondisi ketenagakerjaan Indonesia semakin terdampak.

Menurut data BPS yang dirilis pada November 2020 terdapat 29,12 juta orang penduduk usia kerja yang terdampak COVID-19.

Rinciannya adalah pengangguran karena COVID-19 sebanyak 2,56 juta orang dan bukan angkatan kerja (BAK) karena COVID-19 sebanyak 760 ribu orang. Jumlah yang tidak bekerja karena COVID-19 sebanyak 1,77 juta orang dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena COVID-19 sebanyak 24,03 juta orang.

Selain itu, tingkat pengangguran terbuka juga mencapai 7,07 persen.

Berbagai hal sudah dilakukan oleh pemerintah untuk membantu dunia usaha dan pekerja secara khususnya, salah satunya adalah dengan Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang diberikan kepada pekerja formal yang memiliki penghasilan di bawah Rp5 juta dan merupakan anggota BPJS Ketenagakerjaan.

Bantuan itu ditargetkan untuk diterima 12,4 juta pekerja yang akan mendapatkan BSU sebesar Rp2,4 juta, yang dicairkan dalam dua periode September-Oktober 2020 dan November-Desember 2020. Untuk program tersebut, pemerintah menganggarkan sebesar Rp29,85 triliun.

Sampai dengan 16 Desember 2020, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengatakan target penyaluran telah mencapai 93,94 persen dan akan mengejar pencairan ke semua pekerja hingga akhir Desember 2020.

Pemerintah juga masih mempertimbangkan apakah akan meneruskan program tersebut tahun depan, mengingat pandemi masih berlangsung dan proses vaksinasi yang baru akan dimulai pada tahun depan.

"Kemnaker tentu sangat siap mendukung program yang sangat baik ini kembali muncul di tahun depan. Kita siapkan desain kebijakannya bersama-sama," kata Menaker Ida dalam konferensi pers virtual pada 17 Desember 2020.

Baca juga: Menaker dorong pemda implementasi layanan disabilitas ketenagakerjaan

Baca juga: Kemnaker paparkan kebijakan atasi dampak pandemi COVID-19


UU Cipta Kerja

Isu ketenagakerjaan pada 2020 tidak hanya tentang pandemi dan dampak-dampaknya tapi juga terkait perubahan-perubahan pola kerja dan usaha pemerintah untuk mengatasinya agar tidak tertinggal dengan normal baru dunia kerja.

Pandemi COVID-19 mempercepat transformasi ketenagakerjaan yang terus bergerak ke arah Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan semakin besarnya penggunaan teknologi dalam berbagai sektor.

Menurut laporan World Economic Forum, diperkirakan akan ada 95 juta pekerjaan baru yang tumbuh bersamaan dengan 85 juta pekerjaan yang akan berkurang.

"Untuk kasus Indonesia sendiri McKinsey dalam laporannya telah memprediksikan bahwa akan ada 23 juta jenis pekerjaan yang terdampak oleh otomatisasi, serta akan ada puluhan juta pekerjaan baru yang muncul dalam kurun waktu tersebut," kata Menaker dalam sebuah acara virtual pada 4 Desember 2020.

Menurut laporan World Economic Forum terdapat beberapa kemampuan yang akan dibutuhkan untuk dunia yang akan berubah tersebut seperti pemikiran kritis dan analitis, kreativitas dan inovasi, penggunaan dan desain teknologi, kemampuan menyelesaikan masalah, fleksibilitas, kemampuan menghadapi stres serta kepemimpinan dan pengaruh sosial.

Sementara itu juga ditemukan bahwa ada kemampuan yang akan semakin berkurang kebutuhannya di masa depan yaitu yang banyak berhubungan dengan kemampuan manual dan tradisional.

Berbagai macam tantangan itulah yang coba diakomodir oleh pemerintah lewat pengesahan Undang-undang (UU) Cipta Kerja pada Oktober 2020 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan diteken oleh Presiden Joko Widodo pada awal November 2020.

Pengesahan UU itu sendiri oleh DPR sempat menimbulkan protes besar di berbagai daerah di Indonesia. Dengan aksi di Jakarta menyebabkan kerusakan akibat pembakaran di beberapa fasilitas umum.

Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, pengesahan UU itu tidak memberikan terlalu banyak sisi positif terhadap sektor ketenagakerjaan di Indonesia.

Dia khususnya menyoroti masalah pengupahan dan kemungkinan tidak adanya batasan kontrak, yang tadinya dibatasi dalam periode waktu tertentu sebelum harus diangkat menjadi karyawan tetap.

"Ini menurunkan perlindungan dan kesejahteraan paling minimal. Yang diturunkan itu seperti kembali ke upah murah dengan hilangnya upah minimum sektoral kabupaten/kota atau upah minimum kabupaten/kota," kata Said.

KSPI sendiri bersama dengan beberapa serikat pekerja mengajukan judicial review (JR) terhadap klaster ketenagakerjaan di dalam UU itu ke Mahkamah Konstitusi, yang prosesnya masih berlangsung sampai saat ini.

Namun, dalam berbagai kesempatan pemerintah membantah sorotan dari serikat pekerja, dengan Menaker Ida menegaskan bahwa UU Cipta Kerja adalah langkah besar Indonesia untuk memperbaiki ekosistem investasi dan ketenagakerjaan guna mencapai tujuan Indonesia yang produktif, berdaya saing, adaptif dan inovatif serta dapat keluar dari jebakan negara yang berpenghasilan menengah.

"Kami menyadari semakin banyak investasi yang ditanamkan, maka semakin banyak pula peluang kerja yang terbuka. Oleh sebab itu diharapkan investasi yang masuk adalah investasi yang mampu menyerap banyak tenaga kerja yang belum bekerja," kata Menaker Ida dalam sebuah acara virtual pada 30 November 2020.

UU Cipta Kerja dimaksudkan untuk memecahkan salah satu persoalan ketenagakerjaan di Indonesia yaitu pengangguran dengan data BPS per Agustus 2020 tercatat angka pengangguran mencapai 9,7 juta orang. Angka itu masih ditambah dengan setiap tahunnya terdapat 2-2,5 juta orang angkatan kerja baru.

Selain itu pemerintah juga mengatakan adanya perubahan bentuk-bentuk pekerjaan yang baru dan perkembangan tuntutan dunia kerja yang lebih fleksibel perlu diimbangi dengan adanya perlindungan yang lebih baik bagi pekerja.

Misalnya seperti perubahan ketentuan mengenai perjanjian kerja waktu tertentu, dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak melalui penegasan bahwa pekerja kontrak hanya dapat dipekerjakan pada pekerjaan yang sifatnya sementara atau tidak tetap. Jangka waktu penggunaan pekerja kontrak ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Dalam berbagai kesempatan Menaker Ida juga mengatakan adanya upaya perlindungan dilakukan untuk mengatur ketentuan alih daya (outsourcing), perlindungan sistem pengupahan bagi pekerja serta perubahan ketentuan dalam waktu kerja dan waktu istirahat serta waktu kerja lembur yang dimaksudkan selain untuk meningkatkan produktivitas.

Selain itu juga agar pekerja yang bekerja kurang atau lebih dari waktu kerja standar, dapat terlindungi.

Pemerintah juga memberikan perhatian khusus bagi pekerja yang menjadi korban PHK. Perubahan ketentuan mengenai mekanisme PHK bagi pekerja tetap, dilakukan untuk memberikan perlindungan bagi pekerja agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja secara sewenang-wenang oleh pengusaha.

Di sisi lain bagi kedua belah pihak, PHK tersebut tidak selalu harus menjadi objek yang diperselisihkan.

Semua ketentuan perubahan itu rencananya akan diatur dalam empat PP yaitu PP tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, PP tentang Hubungan Kerja, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja,PP Tentang Pengupahan (Revisi sebagian PP No. 78 Tahun 2015) dan PP Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Keempatnya sendiri masih dalam tahap penyusunan rancangan PP yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan ketenagakerjaan dan juga akademisi.

"Semua manfaat dari UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan ini akan semakin menambah insentif bagi tumbuhnya usaha dan investasi di Indonesia yang pada akhirnya akan berdampak pada percepatan pemulihan perekonomian Indonesia," ujar Ida.

Pemberlakuan UU Cipta Kerja, dan segala aturan turunannya, diharapkan maka akan membantu pemulihan ekonomi yang terpukul akibat penyebaran COVID-19 pada 2021.

Baca juga: KSPI: Pandemi masih akan berdampak di sektor ketenagakerjaan pada 2021

Baca juga: BPJAMSOSTEK dan BP2MI perkuat kerja sama pastikan perlindungan PMI



 

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020