Menilik hoaks COVID-19 dan ancamannya

30 Desember 2020 14:52 WIB
Menilik hoaks COVID-19 dan ancamannya
Tangkapan layar hoaks yang menyatakan bahwa enam orang meninggal setelah disuntik vaksin Pfizer (Twitter)
Kehadiran COVID-19 pada akhir 2019 turut menjadi momentum munculnya gelombang besar hoaks di banyak negara.

Dalam forum Trusted Media Summit 2020 yang dihadiri ratusan perwakilan dari negara Asia-Pasifik, terungkap bahwa gempuran kabar bohong di awal masa pandemi setidaknya telah melanda 15 negara.

Peneliti First Draft Jack Berkefeld melaporkan ada sejumlah narasi kelam yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tersebar di Australia pada pembuka 2020. Salah satunya, narasi antiAsia.

COVID-19 yang diketahui bermula dari Wuhan, China, menghidupkan sentimen negatif pada orang-orang Asia di Australia. Perwakilan organisasi pemeriksa fakta dari negara Kanguru tersebut mengungkapkan pernyataan salah satu selebritis Instagram dan pesepakbola Australia di media sosial, juga sempat memperkuat xenofobia.

Tidak dapat dipungkiri, xenofobia pada Ras Asia menjadi isu internasional saat COVID-19 mulai meluas. Warga Asia di Prancis, Kanada, dan Amerika Serikat bahkan tercatat menerima perlakuan tidak pantas akibat prasangka tak berdasar tersebut.

Menurut Reuters pada Februari 2020, seorang siswa sekolah menengah di Los Angeles disebut rekannya sebagai orang keturunan Asia-Amerika dengan virus corona. Siswa itu kemudian dipukuli dan dirawat di rumah sakit setelah mendapatkan perlakuan kasar dari siswa lainnya.

Di Prancis pada penghujung Januari 2020, sebuah surat kabar lokal Le Courier Picard dikritik karena dinilai membentuk "stereotip buruk Asia".

Saat itu, Le Courier Picard memajang foto perempuan China memakai masker di sampulnya. Tertulis pula "Alerte jaune" yang berarti "Siaga Kuning".

Orang Asia di Prancis juga sampai membuat tagar "JeNeSuisPasUnVirus" di media sosial, yang berarti "Saya bukan virus", untuk meredam rasisme.

Sementara itu BBC juga melaporkan bahwa orang China di Kanada mengalami kemerosotan penghasilan akibat serangan daring terhadap usaha rumah makan mereka pada Januari 2020.

Baca juga: Hoaks, COVID-19 disebut sebagai flu biasa

Baca juga: WHO tangkal informasi menyesatkan COVID-19 lewat Wikipedia


Langka

Minimnya informasi soal wabah SARS CoV-2 dan cara penanganannya di awal kemunculan virus itu, membuat publik lebih mudah termakan kabar bohong.

Hoaks juga terbukti menjadi salah satu alasan munculnya fenomena "panic buying" atau perilaku membeli kebutuhan secara berlebihan di sejumlah negara. Contohnya saja di Jepang.

Wartawan sekaligus anggota aktif di Japan Center of Education for Journalists Kayo Mimizuka, dalam pertemuan internasional yang diinisiasi Google pada November 2020, mengaku jika banyak warga di Jepang yang menjadi korban hoaks tisu toilet.

Menurut penelusuran Mimizuka, warga Jepang awalnya banyak menerima informasi bahwa tisu toilet akan langka pada masa-masa menjelang isolasi mandiri. Saat itu, di beberapa negara tisu toilet juga diperebutkan.

Hal tersebut kemudian memicu pembelian tisu toilet secara besar-besaran dan benar-benar menjadikanya barang langka.

Australia pada awal pandemi juga sempat terkenal karena fenomena "darurat tisu toilet".

Bahkan, Mirror.co.uk pada Maret 2020 melaporkan sempat terjadi keributan di Woolworths, salah satu pusat perbelanjaan di Sydney, Australia, karena pembeli memperebutkan kertas pembersih tersebut. Adu argumen terkait tisu itu kemudian membuat seorang perempuan menodongkan pisau kepada pembeli lainnya.

Konspirasi

Corona yang diklaim sebagai hasil konspirasi merupakan informasi palsu yang awet beredar dari awal hingga akhir 2020.

ANTARA mencatat ada beberapa teori konspirasi yang heboh seputar virus corona, di antaranya adalah COVID-19 merupakan senjata biologis dari laboratorium Wuhan, China.

Adapula kesimpulan bahwa corona sebenarnya buatan Amerika Serikat yang diciptakan untuk menghancurkan China.

Pendiri Microsoft Corporation, Bill Gates, turut dicurigai memiliki andil terkait kemunculan epidemi virus corona. Tudingan tersebut diarahkan ke Bill Gates karena salah satu orang terkaya di dunia itu dianggap memiliki agenda terselubung terkait wabah COVID-19 dan vaksinnya.

Sementara itu, warga Inggris sempat meyakini bahwa COVID-19 dapat menyebar melalui jaringan 5G. Hal ini membuat sejumlah orang membakar menara telekomunikasi jaringan internet 5G di sejumlah lokasi di Inggris pada April 2020.

Walau demikian, tidak ada satu pun narasi soal konspirasi yang dapat dibuktikan.

Baca juga: Facebook akan hapus hoaks vaksin COVID-19

Baca juga: Hoaks, narasi China targetkan kematian 100 juta penduduk Indonesia dengan vaksin



Flu Musiman

Video berisi sejumlah orang yang mengaku tergabung dalam Aliansi Dokter Dunia tidak hanya membuat masyarakat Indonesia geger pada Oktober 2020. Cuplikan gambar berdurasi sembilan menit itu pun sempat menggoyahkan kepercayaan masyarakat dunia terhadap para tenaga kesehatan.

Pasalnya, pernyataan gabungan dari dokter, ilmuwan, dan aktivis perdamaian dalam video tersebut berselisih dengan sejumlah instruksi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait COVID-19.

Keterangan yang termuat dalam video itu, di antaranya adalah soal perlunya dunia mengakhiri "lockdown" atau pembatasan kegiatan di sejumlah negara.

Penggunaan masker serta pemberlakuan "social distancing" pun dianggap mubazir, karena tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa COVID-19 merupakan pandemi.

Perkumpulan itu juga menyebutkan jika sebagian besar hasil tes yang dilakukan melalui sistem Polymerase Chain Reaction (PCR) telah direkayasa.

Politikus dan media juga diklaim telah menjadikan COVID-19 sebagai virus yang berbahaya. Padahal, kenyataannya COVID-19 tidak lebih buruk dari flu musiman.

Segala narasi dalam video tersebut telah dibantah oleh Juru Bicara Satgas COVID-19 Prof Wiku Adisasmito. Menurut Wiku, masyarakat perlu mewaspadai peredaran kabar palsu dan tetap mengacu pada keterangan resmi World Health Organization dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC).

Vaksin COVID-19

Kegagalan uji klinis sejumlah kandidat vaksin COVID-19 seolah menjadi "bahan bakar" bagi produsen hoaks.

Setelah melanglang buana pada berbagai tema, kini para inisiator terlihat terus memperbaharui narasi bohong tentang vaksin COVID-19 secara kontinu.

Di Indonesia, hoaks soal Sinovac dan Pfizer masih menjadi primadona, jika dibandingkan dengan jenis lainnya.

Bukan tanpa akibat. Informasi palsu itu sejatinya perlu diwaspadai multisektor.

Pasalnya, semakin marak hoaks vaksin menyebar, semakin terbuka pula kemungkinan munculnya gerakan antivaksin.

Berkaca dari pengalaman sebelumnya, dunia kesehatan sebenarnya telah memiliki sejarah buruk tentang hoaks dan vaksin. Hal itu terkait riset yang dikeluarkan mantan dokter Inggris Andrew Wakefield pada 1998.

Wakefield, yang kini dikenal sebagai aktivis antivaksin, dalam risetnya mengaitkan antara pemberian vaksin mumps, measles, rubella (MMR) dengan risiko autisme, sebagaimana dilaporkan theconversation.com.

Namun, sejumlah studi yang dilakukan setelahnya, dengan tegas membantah temuan palsu Wakefield. Berbagai riset baru soal vaksin MMR dengan solid memberikan bukti bahwa vaksin tersebut tidak meningkatkan risiko autisme, tidak memicu autisme, dan juga tidak ada kaitannya dengan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).

Walaupun keterkaitan vaksin MMR dengan autisme telah dibantah sejumlah penelitian. Tak dapat dipungkiri, hingga kini masih ada kelompok yang menganggap narasi tersebut sebagai fakta.

Dengan demikian, untuk menyukseskan program vaksinasi COVID-19, Pemerintah Indonesia dan semua stakeholder perlu belajar dari pengalaman serta mengantisipasi fenomena post-truth tersebut.

Baca juga: Istora Senayan jadi tempat isolasi pasien COVID-19? Ini faktanya

Baca juga: Vaksin COVID-19 Pfizer bentuk vape? Cek faktanya!

 

Pewarta: Agita Tarigan
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020