Pada saat para personel tim gabungan pencarian dan pertolongan (search and rescue/SAR) berjibaku di lokasi jatuhnya Sriwijaya SJ 182 di perairan Kepulauan Seribu, musibah dahsyat lainnya terjadi.Untuk Kita Renungkan
Gempa bumi dengan magnitudo 6,2 mengguncang Kabupaten Majene, Sulawesi Barat pada Jumat (15/1) pukul 01.28 WITA. Gempa berpusat di 2,98 Lintang Selatan (LS)-118,94 Bujur Timur (BT) atau enam kilometer (km) timur laut Majene.
Gempa dirasakan hingga di Kabupaten Mamuju yang berjarak 34 km dari pusat gempa. Gempa itu ternyata rangkaian sejak Kamis (14/1).
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah IV Makassar menyebutkan sejak Kamis (14/1) hingga Jumat pagi telah terjadi 47 kali gempa bumi dan dua di antaranya telah merusak berbagai bangunan.
Kantor Gubernur Sulawesi Barat (Sulbar) termasuk bangunan yang roboh. Bangunan lain seperti rumah sakit, hotel dan rumah penduduk juga banyak yang roboh.
Pusat Pengendali Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat hingga Jumat pukul 14.00 WIB, 34 orang meninggal akibat gempa di Sulawesi Barat. Rinciannya, 26 orang meninggal di Kabupaten Mamuju dan delapan orang di Kabupaten Majene.
Menurut Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan (BNPB) Raditya Jati, sekitar 15.000 orang mengungsi. Terdapat 10 lokasi pengungsian di Kabupaten Majene dan lima lokasi pengungsian di Kabupaten Mamuju.
Bertubi-tubi
Gempa ini terjadi di tengah negara-negara di dunia, termasuk Indonesia sedang mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk mengatasi wabah virus corona (COVID-19). Bahkan korban terus bertambah setiap hari.
Gempa dahsyat ini juga terjadi di tengah musibah atau bencana lainnya di beberapa daerah. Longsor terjadi di Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Bahkan bencana alam ini terjadi pada saat Sriwijaya Air SJ 182 hilang kontak pada Sabtu (9/1) sore.
Baca juga: Akademisi Unsoed: Peta bencana harus dioptimalkan pada 2021
Pada pekan ini, bencana banjir juga terjadi di sejumlah daerah, seperti Kota Sampang, Pamekasan, Jombang dan Jember (Jawa Timur).
Gempa di Sulbar, bersamaan pula dengan banjir yang menyapu sejumlah wilayah di Kalimantan Selatan (Kalsel), seperti Kabupaten Tanah Laut, Tapin, Hulu Sungai Tengah (HST), Banjar dan Banjarbaru.
Hingga Jumat pukul 11.40 WIB sebanyak 21.990 jiwa dilaporkan terkena dampak banjir di Kabupaten Tanah Laut. Banjir masih merendam 6.346 rumah di kabupaten ini dengan tinggi muka air 150-200 sentimeter.
Banjir yang begitu luas di Kalsel juga mengakibatkan jalur Trans Kalimantan di Kabupaten Banjar terputus setelah sisi jembatan Astambul-Mataraman runtuh tergerus banjir. Ruas jalan nasional yang menghubungkan antarkabupaten dan kota putus setelah oprit jembatan di Kecamatan Mataraman Kabupaten Banjar tergerus banjir.
Itu semua seolah terjadi secara berurutan seperti rangkaian. Tentu semua itu semakin menambah jumlah dalam deret hitung kejadian bencana dan musibah selama memasuki 2021.
Apabila dirunut ke belakang, BMKG menjelang akhir tahun lalu telah menyampaikan peringatan kepada semua pihak mengenai potensi bencana pada 2021. Banjir sudah diperkirakan terjadi seiring tinggi curah hujan yang kali ini diiringi "La Nina".
Yang terbaru, BMKG mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai potensi cuaca ekstrem dan banjir yang masih membayangi hingga Februari 2021. Sampai Maret masih ada potensi multi risiko bencana, tapi untuk hidrometeorologi puncaknya pada Januari-Februari.
Tampaknya masih membutuhkan napas panjang, kesabaran dan kerja keras untuk menghadapi serta mengatasi bencana yang sedang terjadi. Juga kewaspadaan untuk mengantisipasi yang potensial terjadi.
Menyatukan gerak
Kini seluruh daya dan upaya pemerintah sedang dikerahkan serta dicurahkan untuk mengatasi musibah dan bencana-bencana tersebut. Pun demikian semua elemen bangsa selayaknya menyatukan langkah guna menuntaskan kerja besar nan berat ini.
Sungguh teramat berat ujian dan cobaan yang sedang dihadapi bangsa ini. Di sinilah urgensinya gotong-royong atau kolaborasi melalui beragam cara dan strategi untuk mengatasi dan menanggulanginya.
Baca juga: Pagu indikatif BNPB 2021capai Rp715,431 miliar
Rangkaian bencana alam ini terjadi di tengah bencana non alam (COVID-19) yang terus memuncak jumlah korbannya. Keduanya sedang berkecamuk di seluruh wilayah.
Dalam situasi dan kondisi seperti ini, tak satupun pihak merasa paling aman di tempatnya menjalani kehidupan. Di tengah kepungan dua jenis bencana itu pula maka sewaktu-waktu siapa saja bisa menjadi korbannya.
Itulah sebabnya, kewaspadaan perlu menjadi perhatian dengan terus menjaga simpati dan empati kepada pihak yang saat ini sedang menjadi korban. Ironis bila di tengah banyak bencana seperti ini masih diwarnai manuver kontraproduktif, sementara bencana bisa terjadi kapan saja, dimana saja dan menimpa siapa saja.
Di sinilah perlunya kesadaran mengenai potensi bencana dan kejadian bencana itu menjadi kesadaran kolektif. Tumbuhnya kesadaran kolektif adalah awal dari bersatunya energi untuk menghadapi dan mengatasinya.
Peribahasa mengatakan "ringan sama dijinjing-berat sama dipikul" maka seberat apapun bencana dan musibah diyakini akan bisa diatasi dengan kebersamaan. Jiwa korsa kegotongroyongan atau kolaborasi adalah mutlak.
Bersamaan dengan hal itu sebagai sebuah tawakal, mendekat dan bermohon kekuatan serta berserah diri kepada Tuhan atas bencana yang bertubi-tubi ini adalah ikhtiar yang selayaknya terus dilakukan.
"Adalah Dia di atas segalanya". Ebiet G Ade dalam "Untuk Kita Renungkan" telah mengingatkan kita semua.
Pewarta: Sri Muryono
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2021