Gubernur Sao Paulo Joao Doria melakukan apa saja untuk mendapatkan akses ke vaksin buatan China produksi Sinovac. 120.000 unit vaksin ini sudah tiba di Brasil pertengahan November tahun lalu sampai kemudian otoritas Brasil mengotorisasi penggunaannya, selain juga vaksin buatan Universitas Oxford-Astra Zaneca, pada 18 Januari 2021."Dunia menjadi terlihat mementingkan diri sendiri dan ego sentris"
Sang gubernur memilih perusahaan farmasi China itu sejak awal pandemi. Sinovac sendiri sudah menguji vaksinnya di negara bagian Brasil itu selama beberapa bulan, seperti juga mereka lakukan di banyak bagian dunia, termasuk Indonesia.
Jika vaksin ini terbukti ampuh maka citra dan reputasi Joao Doria pun terangkat sehingga menaikkan statusnya menjelang pemilihan presiden 2022.
Tapi ini pula alasan Presiden Brasil Jair Bolsonaro menggoreng sentimen anti-vaksin buatan China. Bolsonaro berusaha merusak rencana vaksinasi Doria karena dia menganggap sang gubernur adalah rival terkuatnya pada pemilu tahun depan.
Semula otoritas kesehatan yang dikendalikan pemerintahan pusat pimpinan Bolsonaro terus menunda kedatangan vaksin China dengan alasan Bolsonaro lebih memilih vaksin AstraZeneca- Oxford walaupun vaksin ini baru tersedia dalam skala besar Maret nanti.
Pergulatan di Brasil itu menguak politik global yang dihadapi dunia, yakni soal produksi, distribusi dan administrasi vaksin COVID-19 secepat-cepatnya kepada miliaran manusia di seluruh dunia yang bisa menjadi tantangan logistik besar dan mencapai dimensi tak pernah dihadapi manusia sebelum ini.
Negara yang pertama mendapatkan vaksin akan menjadi negara yang pertama mengakhiri lockdown dan berbagai bentuk pembatasan guna membendung COVID-19, membuka sekolah, fasilitas-fasilitas umumnya, dan menggerakkan lagi roda perekonomian.
Negara yang mengendalikan akses ke vaksin bakal mendapatkan kekuasaan lebih.
"Pandemi memberikan kesempatan kepada sejumlah negara untuk mengukuhkan diri sebagai produsen komoditas publik sehingga memperoleh pengaruh lebih ketimbang yang mereka bisa dapatkan dari cara ideologis pada abad ke-20," kata Dmitry Trenin, kepala think tank Carnegie Moscow Center, seperti dilaporkan Der Spiegel.
Sebaliknya, negara-negara lainnya akan menghadapi masa dan situasi sangat sulit dalam mendapatkan akses ke vaksin COVID-19.
Baca juga: Kurang data, Persetujuan Brazil untuk vaksin Sputnik V tertunda
Baca juga: Anvisa Brazil: Permohonan vaksin COVID Sinovac China minim informasi
Selanjutnya: dunia menjadi terlihat mementingkan diri sendiri dan ego sentris
Nasionalisme vaksin
Konsekuensinya, meminjam kalimat Karline Kleijer dari Doctors without Borders, dunia menjadi terlihat "mementingkan diri sendiri dan ego sentris". Kleijer sudah melihat hal semacam itu saat dunia berlomba mencari masker di mana dia menyaksikan mentalitas ala mafia dalam bagaimana masker kesehatan diperjualbelikan, terutama masa awal pandemi.
Faktanya, tahun lalu saja ada 44 perjanjian bilateral terkait pengadaan vaksin COVID-19, dan awal tahun ini sudah ada lagi 12 perjanjian serupa. Ini membuktikan Kleijer benar bahwa semua negara mementingkan dirinya sendiri.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan filantropis Bill Gates sejak lama sudah membaca gelagat ini. Ini pula yang mendasari mereka membuat Fasilitas Akses Global Vaksin COVID-19 (COVAX) guna memastikan baik negara kaya maupun negara miskin mendapatkan akses sama cepatnya ke vaksin COVID-19.
Namun perburuan vaksin COVID-19 sudah terjadi jauh sebelum vaksin itu memulai tahap uji klinisnya yang pertama.
Tentu saja yang memiliki kemampuan membeli sebelum barang ada adalah negara-negara kaya. Mereka telah memborong vaksin COVID-19 jauh sebelum pabrikan-pabrikan vaksin memulai produksi secara massal.
Negara-negara kaya seperti ini tidak akan menghadapi masalah mendapatkan vaksin semahal buatan Pfizer-Biontech sekalipun. Satu-satunya vaksin yang mendapatkan otorisasi darurat dari WHO sejauh ini tersebut mensyaratkan suhu penyimpanan minus 70 derajat Celsius, padahal freezer kulkas pada umumnya saja maksimum minus 18 derajat Celcius.
Itu artinya perlu fasilitas pendinginan khusus yang membutuhkan biaya produksi tambahan lebih besar lagi sehingga mustahil bisa diadakan oleh negara-negara miskin atau negara yang tengah menghemat anggaran, apalagi ada pilihan vaksin yang lebih diterima anggaran belanja nasionalnya.
Bagi kebanyakan negara, terutama yang tengah menghadapi politisasi terkait penanganan pandemi, masalah akses ke vaksin ini adalah masalah besar.
Mengingat pandemi tidak bisa dikendalikan cuma lewat lockdown dan disiplin kesehatan, kecuali di negara-negara seperti China, Korea Selatan, Jepang, Taiwan dan Vietnam, maka vaksin dianggap senjata pamungkas.
Masalahnya, kebanyakan negara sulit mendapatkan akses tepat waktu dan cepat ke vaksin COVID-19 karena menghadapi kendala "nasionalisme vaksin" di mana produsen-produsen vaksin, khususnya di AS dan Eropa, memprioritaskan dahulu produksi massal untuk negara di mana pabrikan-pabrikan vaksin berada.
Bahkan India dan Rusia membuat sendiri vaksinnya untuk kebutuhan domestik, paling tidak untuk jangka pendek. Indonesia dengan vaksin Merah Putih-nya pun tampaknya seperti itu pada awalnya.
Baca juga: Menristek: LBM Eijkman pengembang vaksin Merah Putih tercepat
Selanjutnya: Soal ketersediaan
Soal ketersediaan
Untuk itulah kebanyakan negara memesan vaksin tidak cuma kepada satu penyedia. Indonesia yang sudah memiliki 3 juta dosis vaksin buatan Sinovac misalnya, tidak hanya mencari vaksin ke China, tetapi juga ke Amerika Serikat, Belgia dan Prancis, termasuk membeli vaksin AstraZeneca.
Ini karena rata-rata vaksin itu tidak akan tersedia sesuai waktu yang diharapkan si pembeli, padahal pandemi terus mengacaukan negeri.
Boleh dibilang negara-negara, termasuk Indonesia, memesan vaksin produksi China salah satunya karena faktor ketersediaan, tetapi tentu saja mereka mempertimbangkan juga tahap-tahap uji klinis yang dilewati vaksin-vaksin buatan China yang memang disebut luas sudah teruji, minimal di negaranya dan di banyak negara yang mengadakan uji efikasi vaksin buatan China.
Baca juga: Peretas manipulasi data vaksin COVID-19 curian sebelum dibocorkan
Pandemi yang kian merajalela dan dampaknya yang multidimensional terhadap ekonomi sampai sosial-politik, memaksa pemerintah-pemerintah seluruh dunia menghadirkan vaksin secepat mungkin. Salah satunya guna meredakan tekanan politik akibat penanganan pandemi dan dampak pandemi terhadap perekonomian.
"Alasan kami mencari Sinovac adalah karena merekalah satu-satunya yang bisa memasok kita dalam waktu secepat mungkin. Tentu saja kami tak membeli vaksin itu tanpa serfifikasi FDA (badan pengawasan obat-obatan dan makanan) bahwa vaksin mereka aman dan efektif," kata Juru Bicara Kepresidenan Filipina, Harry Roque, menjelaskan alasan pemerintahnya membeli 25 juta dosis vaksin Sinovac sekalipun waktu itu belum terlihat tingkat efikasinya.
Sementara di Indonesia, Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir mengungkapkan alasan Indonesia memilih vaksin Sinovac adalah karena faktor kecepatan dalam proses uji klinis ketiganya.
“Sinovac termasuk 1 dari 10 kandidat paling cepat yang sudah masuk ke uji klinis tahap ketiga," kata Honesti dalam konferensi pers via kanal YouTube Kemkominfo TV awal Desember lalu.
Walau melihat dari perspektif medis keilmuan, pandangan Bio Farma itu secara implisit menegaskan pernyataan pemerintah Filipina soal ketersediaan vaksin untuk saat ini yang memang menjadi persoalan banyak negara.
Di Filipina, seperti di Brasil dan banyak negara yang menjadi mitra produsen-produsen vaksin buatan China, pengadaan dan pemilihan vaksin menjadi komoditas politik sehingga setiap waktu terjadi perdebatan, kontroversi dan perang opini.
Baca juga: Bio Farma: Vaksin COVID-19 Sinovac paling cepat masuk uji klinis III
Baca juga: Filipina izinkan penggunaan darurat vaksin COVID Pfizer-BioNTech
Selanjutnya: Kritik WHO
Kritik WHO
Tak banyak yang mengetahui dilema yang dihadapi kebanyakan pemerintah di dunia bahwa mereka menginginkan vaksin segara hadir tetapi saat bersamaan sebagian besar vaksin tidak tersedia dalam waktu secepat yang mereka inginkan.
Padahal, pandemi tak bisa diajak kompromi, sebaliknya terus merongrong reputasi dan kemampuan pemerintah, bahkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump tidak terpilih lagi salah satunya karena penanganan pandemi.
Kebanyakan pemerintah, apalagi yang sama sekali tak memiliki akses ke produsen vaksin, menghadapi dua masalah sekaligus, yakni politisasi dan hambatan nasionalisme vaksin yang membuat hampir tak ada negara yang memikirkan bagaimana negara lain bisa mendapatkan vaksin COVID-19 karena seluruh dunia memang membutuhkan segera vaksin agar bisa segera menghentikan pandemi, termasuk negara sebesar Amerika Serikat.
Bagi negara-negara seperti Indonesia masalah itu mungkin hanya mendorong pemerintah untuk sering-sering memberikan penjelasan lebih meyakinkan mengapa memilih vaksin tertentu, tetapi bagi negara yang tak mampu mengadakan vaksin dan sama sekali tak punya akses ke produsen vaksin adalah malapetaka.
Dan itu merisaukan sejumlah pihak yang mempedulikan akses merata dan sama cepatnya ke vaksin COVID-19, termasuk WHO.
Bayangkan, berdasarkan catatan WHO, dari 39 juta dosis vaksin yang saat ini beredar hanya 49 negara berpendapatan besar, termasuk Indonesia, yang mendapatkannya. Baru 25 dosis saja yang diberikan kepada sebuah negara miskin.
WHO tak ayal mengkritik pendekatan “saya yang pertama” terkait distribusi vaksin COVID-19 karena membuat negara miskin tak punya kesempatan mendapatkan vaksin dan itu sama artinya dengan menutup peluang negara miskin terbebas dari pandemi.
Wajar jika kemudian Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom mendesak berbagai negara dan pabrikan vaksin agar mau menyebarkan vaksin secara merata ke seluruh dunia agar negara-negara miskin bisa mendapatkannya.
Namun, sekalipun WHO keras mendesak dan mengenalkan wadah COVAX agar vaksin diakses semua negara di seluruh dunia, sulit sekali mewujudkan keinginan tersebut karena hampir semua negara menghadapi tekanan domestik yang kencang, mulai dari politisasi sampai erosi ekonomi akibat dampak pandemi, sehingga yang pertama terbayang dalam pikiran mereka adalah bagaimana negaranya sendiri terbebas dari pandemi.
Mungkin baru China yang bersedia mengglobalkan vaksinnya karena memang tidak terlalu membutuhkan vaksin mengingat pandemi sudah mereka taklukkan lewat tindakan-tindakan keras tanpa menggunakan vaksin.
Ketersediaan vaksin China di pasar global pun tidak lepas dari motivasi mencari pengaruh serta akses ke negara-negara yang faktanya juga kebanyakan bukan negara miskin. ini pun tentu tidak akan bisa bebas dari politisasi.
Baca juga: WHO: Negara miskin akan terima vaksin pertama COVID kuartal I 2021
Baca juga: Epidemiolog ingatkan orang sudah divaksin tetap harus jaga 3 M
Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2021