Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengapresiasi upaya yang dilakukan Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat (Sumbar) Adib Alfikri yang akan mengkaji ulang aturan yang diskriminatif terhadap siswa di sekolah.pintu masuk pembenahan berbagai aturan yang diskriminatif
"Komisi Perlindungan Anak Indonesia berharap kasus SMKN 2 Kota Padang menjadi pintu masuk bagi pembenahan dan evaluasi berbagai aturan di sekolah dan di daerah yang diskriminatif dan berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) atau hak-hak anak sebagai diatur dalam UU Perlindungan Anak," kata Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Retno Listyarti melalui keterangan pers yang diperoleh ANTARA, Jakarta, Selasa.
Retno menyebutkan bahwa beberapa siswa nonmuslim di Padang, Sumbar, dalam wawancara mereka dengan salah satu media nasional, berharap bisa bebas ke sekolah tanpa mengenakan jilbab. Secara pribadi, mereka tidak ingin berjilbab tetapi enggan untuk menolak aturan sekolah.
Beberapa siswi non-Muslim yang diwawancarai oleh media nasional tersebut tidak hanya berasal dari SMKN 2 Kota Padang, tetapi ada juga siswi SMKN 3 Kota Padang, SMKN 12 Padang, SMAN 16 dan SMAN 18 Kota Padang. Mereka mengaku telah menggunakan seragam jilbab sejak duduk di jenjang SD dan SMP, meskipun mereka bukan beragama Islam.
Atas munculnya sejumlah kasus diskriminatif di Sumbar itu, Retno mengatakan bahwa Dinas Pendidikan Sumbar akan segera mengirim surat edaran ke sekolah agar merevisi aturan yang berpotensi diskriminatif terhadap siswa non-Muslim.
Disdik Sumbar, katanya, dalam waktu dekat dekat akan mengirimkan surat edaran kepada kepala sekolah SMA/SMK, yang dikelola di provinsi tersebut. Melalui surat edaran itu, dinas meminta sekolah untuk mengkaji ulang aturan-aturan yang berpotensi memunculkan intoleransi. Sementara untuk SD dan SMP yang dikelola kabupaten/kota, Adib, kata Retno, akan berkoordinasi dengan kepala Disdik Kabupaten/Kota terkait aturan itu.
Selain kasus diskriminatif di Sumbar, Retno menyebutkan banyak survei dan penelitian yang menunjukkan fakta bahwa praktik-praktik intoleransi masih terjadi di sejumlah sekolah di berbagai daerah di Indonesia.
Berbagai penelitian terkait ada atau tidaknya praktik intoleransi di sekolah dilakukan oleh beberapa lembaga, di antaranya adalah Setara Institute dan Wahid Institute. Menurut hasil penelitian dari Wahid Institute, sebagian guru, termasuk kepala sekolah, cenderung lebih memprioritaskan kegiatan ataupun nilai-nilai agama mayoritas saja. Selain itu, sebagian guru juga dinilai tidak dapat membedakan antara keyakinan pribadinya dengan nilai dasar toleransi yang seharusnya diajarkan kepada muridnya.
Baca juga: Jangan terulang, wajib jilbab bagi non-Muslim
Baca juga: Wagub DKI minta Disdik kenakan sanksi oknum guru SMA 58 yang intoleran
Hal itu salah satunya dicontohkan terjadi di Bali pada 2014, dalam kasus pelarangan penggunaan jilbab di beberapa sekolah seperti SMPN 1 Singaraja dan SMAN 2 Denpasar. Selain itu pada Juni 2019, surat edaran di Sekolah Dasar Negeri 3 Karang Tengah, Gunung Kidul, Yogyakarta, juga menimbulkan kontroversi karena mewajibkan siswanya mengenakan seragam Muslim.
Intoleransi juga tercatat terjadi di SMAN 8 Yogyakarta karena kepala sekolahnya mewajibkan siswanya untuk mengikuti kemah di Hari Paskah. Protes yang dilakukan sebelumnya oleh guru agama Katolik dan Kristen tidak ditanggapi oleh kepala sekolah yang pada akhirnya mengubah tanggal perkemahan setelah ada desakan dari pihak luar.
Dari berbagai kasus intoleransi dan diskriminasi yang terjadi di sekolah, Retno mengatakan bahwa KPAI mendorong pengarusutamaan nilai-nilai kebhinekaan di sejumlah sekolah negeri.
"Sekolah harus menjadi tempat strategis membangun kesadaran kebhinekaan dan toleransi," katanya.
Ia mendorong sejumlah upaya yang bisa dilakukan, antara lain dengan peningkatan kapasitas kepala sekolah, guru-guru, termasuk pejabat di dinas pendidikan atau kementerian pendidikan.
Retno juga mengatakan bahwa partisipasi orang tua murid untuk memastikan agar anak-anak mereka tidak mengalami diskriminasi atau mengambil jalan pemahaman yang intoleran juga diperlukan.
"Mereka bisa melaporkan kasus-kasus diskriminasi kepada lembaga pengawas eksternal seperti ombudsman atau organisasi masyarakat sipil yang bergerak di isu ini. Bisa pula memaksimalkan peran forum guru. Forum guru bisa menjadi tempat di mana mereka bisa bersama-sama mencari solusi membangun nilai-nilai toleransi," demikian kata Retno.
Baca juga: Survei: 50,87 persen guru di Indonesia miliki opini intoleran
Baca juga: PDIP DKI dorong hukuman guru intoleran di SMAN 58 sesuai UU ASN
Pewarta: Katriana
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021