• Beranda
  • Berita
  • LSM dorong untuk gencarkan pencegahan perkawinan anak

LSM dorong untuk gencarkan pencegahan perkawinan anak

5 Februari 2021 13:32 WIB
LSM dorong untuk gencarkan pencegahan perkawinan anak
Peserta membawa poster saat aksi peringatan Hari Perempuan Internasional di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (8/3/2020). Aksi tersebut untuk menyosialisasikan pencegahan perkawinan anak guna menekan angka perkawinan usia dini yang masih marak terjadi. ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/aww.

Perkawinan anak berdampak buruk terhadap hak-hak anak, baik ibu dan bayinya, yaitu hak atas kelangsungan hidup, kesehatan, dan pendidikan

Lembaga swadaya masyarakat Wahana Visi Indonesia (WVI) mendorong seluruh pihak untuk menggencarkan pencegahan perkawinan anak karena anak lebih rentan dikawinkan selama masa pandemi COVID-19 dengan anggapan bisa mengurangi beban keluarga.

"Perkawinan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual terhadap anak yang biasanya dibarengi dengan kekerasan fisik dan mental," kata Child Protection Team Leader WVI Emmy Lucy Smith melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat.

Dalam laman resminya WVI menyebutkan adalah Yayasan Kemanusiaan Kristen dengan pendekatan tanggap darurat, pengembangan masyarakat dan advokasi, yang bekerja untuk membawa perubahan yang berkesinambungan pada kehidupan anak, keluarga, dan masyarakat yang hidup dalam kemiskinan

Emmy mengatakan selama pandemi COVID-19 permohonan dispensasi perkawinan usia anak mengalami peningkatan.

Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung menyebutkan terdapat 34 ribu permohonan dispensasi kawin sepanjang Januari 2020 hingga Juni 2020, jauh meningkat dibandingkan sepanjang 2019 yang mencapai 23.700 permohonan.

Dari jumlah tersebut, kata dia, sebanyak 97 persen dikabulkan dan 60 persen yang mengajukan adalah anak yang berusia di bawah 18 tahun. Peningkatan permohonan dispensasi tersebut menunjukkan anak-anak, terutama anak perempuan, rentan dilanggar hak-haknya.

"Perkawinan anak berdampak buruk terhadap hak-hak anak, baik ibu dan bayinya, yaitu hak atas kelangsungan hidup, kesehatan, dan pendidikan. Ibu atau bayi memiliki peluang lebih besar meninggal dalam persalinan saat terjadi komplikasi, persalinan berisiko, anak lahir prematur dan kematian bayi sebelum satu tahun," katanya.

Survei Yayasan Tulodo pada 2019 menemukan tujuh dari 10 orang tua di Palu, Sigi, dan Donggala tidak mengetahui peraturan tentang larangan perkawinan anak. Hanya ada dua dari 10 orang tua yang mengetahui program pencegahan perkawinan anak, dan delapan dari 10 orang tua ingin mengikuti program mencegah perkawinan anak.

Upaya pencegahan perkawinan anak telah dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Menurut Undang-Undang tersebut, batas usia perkawinan adalah paling rendah 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Sebelumnya, batas usia perkawinan untuk perempuan paling rendah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. 

Baca juga: Bappenas: Berbagai upaya cegah perkawinan anak sudah dilakukan

Baca juga: Perkawinan anak berisiko tinggi terhadap kemiskinan

Baca juga: Meutia Hatta: Perkawinan anak hanya menurun 3,5 persen dalam 10 tahun

Baca juga: KPAI: Dispensasi masih jadi tantangan pencegahan perkawinan anak

 

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021